https://jember.times.co.id/
Opini

Pesantren dalam Panggung Peradaban

Jumat, 10 Oktober 2025 - 20:51
Pesantren dalam Panggung Peradaban Lukman AR, ASN UIN KHAS Jember, Alumni PP. Mansyaul Huda 02 Senori & MUS Sarang.

TIMES JEMBER, JEMBER – Sejak Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional pada 2015, pesantren resmi menempati posisi penting dalam narasi kebangsaan. Peringatan ini bukan hanya penghargaan simbolik, tetapi pengakuan historis bahwa pesantren adalah akar yang menumbuhkan karakter bangsa. 

Ia bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga laboratorium sosial, tempat lahirnya nilai-nilai keilmuan, moralitas, dan nasionalisme yang kokoh.

Kini, setelah satu dekade berjalan, peringatan Hari Santri tak lagi cukup dimaknai sebagai nostalgia sejarah atau seremoni rutin. Ia seharusnya menjadi momentum reflektif bagaimana pesantren mampu berdiri di tengah arus globalisasi dan menjadi bagian dari panggung peradaban dunia.

Sejarah panjang pesantren adalah bukti bahwa lembaga ini bukan sekadar tempat mengaji kitab kuning. Ia adalah sistem sosial yang menanamkan etika, disiplin, dan karakter kebangsaan. 

Dalam kultur pesantren, relasi kiai dan santri bukan hubungan guru dan murid semata, tetapi relasi spiritual dan kultural yang membentuk watak keikhlasan, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial.

Di tangan para kiai, pesantren telah melahirkan generasi ulama dan pemimpin umat yang berperan besar dalam sejarah bangsa dari perlawanan terhadap kolonialisme hingga pembangunan nasional pascakemerdekaan. 

Tradisi keilmuan Islam yang diajarkan di pesantren, berpadu dengan semangat kebangsaan, menjadi fondasi kuat dalam membangun masyarakat yang beriman sekaligus berilmu.

Sebagai lembaga yang telah mengakar di hampir seluruh pelosok negeri, pesantren juga menjadi agen transformasi sosial. Ia bukan hanya tempat tafakur, tetapi juga tempat tafsir atas realitas melahirkan gagasan, membentuk solidaritas, dan menanamkan etos kerja bagi umat.

Jejak Historis dan Spirit Jihad Kebangsaan

Sejarah mencatat, 22 Oktober 1945 adalah tonggak penting bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad, sebuah seruan moral dan politik kepada umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajahan. Spirit jihad ini bukan dalam makna peperangan semata, melainkan perjuangan menegakkan martabat bangsa dan mempertahankan keutuhan republik.

Itulah sebabnya, penetapan Hari Santri oleh Presiden Jokowi pada 2015 memiliki makna yang dalam: menghidupkan kembali kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari kekuatan senjata saja, tetapi juga dari kekuatan spiritual dan intelektual kaum santri.

Santri adalah simbol perlawanan dan pengabdian. Dari Pangeran Diponegoro hingga para pejuang resolusi jihad, mereka adalah representasi umat Islam yang berani mengambil risiko demi kemerdekaan. 

Maka, Hari Santri bukan sekadar perayaan identitas, melainkan peringatan akan tanggung jawab moral untuk menjaga bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.

Menteri Agama Nasaruddin Umar saat membuka rangkaian Hari Santri 2025 di Tebuireng menegaskan bahwa pesantren harus memperkuat umat, karena umat yang kuat adalah fondasi bangsa yang kuat. Pernyataan ini menggambarkan tantangan baru bagi dunia pesantren: memperkuat spiritualitas sambil bertransformasi dalam keilmuan dan teknologi.

Tema Hari Santri 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia,” bukan sekadar slogan. Ia mengandung pesan strategis: pesantren harus tampil sebagai pusat inovasi peradaban yang memadukan keilmuan klasik dan modern.

Prinsip al-muhafadhatu ‘ala al-qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil aslah (mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik) adalah kunci relevansi pesantren di era global. 

Tradisi harus dijaga, tetapi tidak boleh membatasi adaptasi. Santri masa kini tidak cukup hanya menguasai kitab, tetapi juga perlu memahami literasi digital, teknologi informasi, ekonomi syariah, hingga diplomasi budaya.

Dalam konteks globalisasi dan disrupsi teknologi, pesantren ditantang untuk melahirkan santri yang multi-literasi mampu berdialog dengan perubahan tanpa kehilangan akar moral dan spiritualnya.

Santri di Era Global

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah keniscayaan. Namun di tengah derasnya arus globalisasi, pesantren memiliki modal besar yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan modern mana pun: keutuhan moral dan spiritual. Modal inilah yang harus diterjemahkan menjadi kekuatan epistemologis dan praksis.

Santri perlu hadir di ruang-ruang publik digital, akademik, dan sosial dengan narasi moderat dan produktif. Mereka harus menjadi juru bicara Islam yang damai, inklusif, dan rasional di tengah wacana global yang sering kali didominasi polarisasi dan ekstremisme.

Pesantren yang adaptif mampu menyiapkan generasi santri yang berpikir kritis, beretika digital, dan memiliki daya saing internasional. Ini bukan utopia. 

Beberapa pesantren telah melangkah lebih jauh dengan mengembangkan riset halal, pertanian modern, hingga program kewirausahaan sosial berbasis kemandirian ekonomi umat.

Tantangan abad ke-21 bukan lagi sekadar mempertahankan identitas, tetapi berpartisipasi dalam peradaban global. Pesantren memiliki potensi besar menjadi model pendidikan dunia yang memadukan iman, ilmu, dan amal.

Dunia tengah mencari keseimbangan baru antara spiritualitas dan rasionalitas, antara nilai dan kemajuan. Dalam konteks ini, pesantren bisa tampil sebagai “model peradaban alternatif” yang tidak menolak modernitas, tetapi menuntunnya dengan moralitas.

Maka, Hari Santri seharusnya tidak hanya menjadi momentum nostalgia perjuangan masa lalu, melainkan titik tolak menuju masa depan: santri sebagai subjek peradaban, bukan objek perubahan.

Santri hari ini harus berani melangkah dari ruang pesantren menuju panggung dunia. Sebab peradaban tidak dibangun oleh kekuatan besar semata, tetapi oleh jiwa-jiwa yang ikhlas menyalakan lentera di tengah kegelapan. Dan di antara mereka, para santri selalu menjadi cahaya yang tidak pernah padam.

 

***

*) Oleh : Lukman AR, ASN UIN KHAS Jember, Alumni PP. Mansyaul Huda 02 Senori & MUS Sarang. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.