TIMES JEMBER, SUMBA TIMUR – Dalam kepercayaan Marapu, kematian bukanlah akhir, melainkan kembalinya seseorang ke negeri leluhur. Salah satu keunikan tradisi ini adalah posisi jenazah yang disimpan dalam keadaan duduk.
"Jenazah yang didudukkan menyerupai posisi janin dalam kandungan," ujar Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur, Yudi Umbu T.T Rawambaku, Sabtu (22/2/2025).
Makna Roh dan Ritual Pemakaman
Dalam keyakinan Marapu, membangunkan jenazah berarti mengembalikan rohnya ke tubuh. Oleh karena itu, jenazah diberikan sirih pinang dan makanan sebagai simbol penghormatan.
Sebagai bagian dari ritual, seekor kuda dikurbankan sebagai Dangangu (kurban). Gong pun dibunyikan siang dan malam, namun dengan irama khas yang berbeda dari upacara pesta. Jika dalam upacara kematian dikenal sebagai Pa Hengingu dan Patambungu, maka dalam pesta meriah disebut Pahandakilungu dan Kabokangu.
"Bunyi gong dalam upacara kematian juga mengandung dialog simbolik, seperti pertanyaan 'Ka Nggikkumunya Dumu?' yang berarti 'Kau mengapakan dia?', lalu dijawab 'Ba Meti Mana Duna' yang berarti 'Dia mati sendiri'," jelas Yudi.
Waktu Pemakaman yang Bisa Bertahun-Tahun
Pemakaman tidak selalu dilakukan segera setelah seseorang meninggal. Keputusan diambil melalui musyawarah keluarga inti. Jika penguburan ditunda, jenazah bisa disimpan di salah satu kamar rumah atau dikuburkan sementara.
Sebelum pemakaman resmi dilakukan, keluarga yang berada jauh harus diberitahu melalui utusan khusus yang disebut Wunang, agar mereka tidak mengira almarhum masih hidup.
Kuburan Leluhur yang Abadi
Kuburan tradisional Sumba dikenal sebagai Na Kahali Manda Mbata, yang berarti "balai-balai yang tak akan patah, rumah yang tak akan lapuk, atau negeri yang abadi." Struktur makam ini unik, berbentuk lubang bulat yang ditutup dengan batu kecil (Ana Daluna), lalu ditindih batu besar dan dilindungi empat pilar batu sebagai penopang.
"Kuburan seperti ini disebut Reti Ma Pawiti, biasanya diperuntukkan bagi bangsawan karena biayanya mahal. Sementara rakyat biasa cukup dengan batu besar sebagai penutup makam," pungkas Yudi.
Tradisi pemakaman Marapu mencerminkan filosofi hidup masyarakat Sumba, yang menghormati leluhur dan mempersiapkan mereka untuk kehidupan abadi di alam baka.
Sementara itu, kuburan asli orang Sumba (Na Kahali Manda Mbata yang artinya balai-balai yang tidak akan patah, rumah yangtidak akan lapuk atau negeri yang baka.
Kuburan tersebut terdiri dari lubang bulat setelah jenazah diturunkan ditutup lebih dahulu dengan batu bulat kecil yang disebut Ana Daluna lalu ditutup dengan batu besar sesudah itu dilindungi dengan batu besar yang dipotong oleh empat batang batu sebagai kakinya.
“Kuburan seperti itu namanya Reti Ma Pawiti. Biasanya hanya untuk bangsawan karena biayanya mahal kalau rakyat biasa kuburannya cukup ditutup dengan batu besar saja,” sebut Yudi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jenazah Duduk dalam Tradisi Marapu: Perjalanan Kembali ke Negeri Leluhur
Pewarta | : Moh Habibudin |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |