TIMES JEMBER, JEMBER – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan disahkan pada 21 Maret mendatang oleh DPR RI, terus mendapati sorotan dari praktisi dan pakar hukum tata negara di Jember.
Kali ini RUU KUHAP tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang ada, sehingga memberikan kesan terburu - buru terkait pengesahan RUU KUHAP tersebut.
Seperti yang berlangsung di aula perpustakaan UIN KHAS Jember, pada Kamis (20/2/2025).
Dimana dibahas bersama dengan tema "Kesetaraan Peran dan Kewenangan dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)".
M. Noor Harisudin, Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara mengatakan bahwa kekhawatirannya terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang muncul akibat pemberian kewenangan berlebihan kepada Kejaksaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Menurutnya, tanpa adanya perubahan signifikan, rancangan ini berisiko mengancam keseimbangan dalam sistem peradilan.
“Jika RUU KUHAP disahkan tanpa perubahan substansial, kita akan kehilangan check and balance. Jaksa berisiko menjadi lembaga super body yang tak terkendali dan rawan penyimpangan,” tegas pria yang akrab disapa Haris itu.
Dia memperingatkan jika ada ketimpangan kewenangan ini bisa memicu kegaduhan di kalangan aparat penegak hukum (APH).
“Jika kewenangan terpusat hanya pada satu lembaga, penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang sangat mungkin. Sudah banyak kasus penyimpangan di kalangan polisi, jaksa, hakim, hingga advokat,” jelasnya.
Oleh karenanya, Haris menyebutkan ketimpangan kewenangan ini semakin diperparah oleh perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara seperti Belanda, yang menerapkan sistem hierarkis dengan jaksa sebagai pihak dominan.
“Di Belanda, sistem ini mungkin berlaku karena jumlah penduduk mereka hanya 17 juta. Di Indonesia, dengan 280 juta penduduk, sistem ini akan berbahaya,” ungkap Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember periode 2019-2023.
Sementara itu, Arief Amrullah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, menyebutkan jika hal ini disahkan oleh DPR RI nantinya, akan sangat berpotensi adanya ketidaksetaraan yang akan menjadi problematik di belakang hari.
"Nah, tadi saya sampaikan bahwa disitulah yang namanya kesetaraan. Jadi, sangat tegas dan jelas, bahwa antara bagaimana kewenangan penyidikan Polri dan kewenangan pununtutan," ujarnya.
Sehingga, Amrullah menegaskan bahwa Dominus litis tersebut jangan sampai dimaknai menjadi dominasi lembaga.
Sebab itu kewenangan jaksa penuntut umum.
"Jika sudah sesuai dengan prosedurnya, dimana penyelidikan berada di polri serta selanjutnya ke pengadilan berada di kejaksaan penuntut umum," tegasnya
"Nah itu jangan sampai ketimpangan, yang ini nantinya lebih tinggi. sehingga itu yang membuat tidak setara," tambahnya.
Amrullah menyarankan DPR untuk melakukan Forum Diskusi Grup, agar masyarakat dapat mengetahui terkait RUU KUHAP tersebut.
"Makanya ini ada potensi tidak setara, apabila itu tidak di diskusikan ke masyarakat. Jadi itu wajib didiskusikan, agar masyarakat bisa mengakses RUU KUHAP itu," ungkapnya. (*)
Pewarta | : M Abdul Basid (MG) |
Editor | : Dody Bayu Prasetyo |