https://jember.times.co.id/
Kopi TIMES

Rizal Bahalwan: Menjaga Warisan Masa Lalu Untuk Masa Kini

Selasa, 09 Maret 2021 - 15:13
Rizal Bahalwan: Menjaga Warisan Masa Lalu Untuk Masa Kini Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.

TIMES JEMBER, BANDA NEIRA – Selama tiga hari di Banda Neira, Maluku Tengah, saya jatuh cinta. Pada alamnya, keramahan penduduknya, serta pada jejak sejarahnya. Di setiap sudut pulau kecil ini, pada setiap jengkalnya, bisa disusun menjadi narasi sejarah. Pada komposisi penduduknya, seni arsitektur rumah, kantor, dan masjid, reruntuhan benteng, bahkan hingga meriam Belanda yang tercecer di pinggir jalan dan di kebun warga.

Soal sejarah, para tetua adat di pulau ini punya kemampuan naratif yang bagus. Abah Rizal Bahalwan, misalnya. Kakeknya berteman baik dengan Bung Hatta, Bung Sjahrir dan Dokter Tjipto Mangunkusumo. Bahkan, Iwa Kusumasumantri, salah satu pendiri bangsa ini, juga menjadi teman diskusi sepadan dalam kajian tafsir Al-Qur'an bersama kakek dari Abah Rizal ini. Setidaknya hal ini diceritakan oleh Bung Hatta dalam memoarnya, "Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi". Dia menyebut Tuan Bahalwan sebagai orang Arab yang tidak pernah ke Arab tapi pengetahuan tentang negeri leluhurnya komplit, seolah-olah pernah berangkat ke Timur Tengah.

Sebagai keturunan Arab, Abah Rizal tumbuh besar bersama campuran etnis lain yang tumbuh besar di Banda: Jawa, Melayu, Buton, Bugis, Spanyol, Inggris, Portugis, Belanda, dan sebagainya. Tumbukan berbagai etnis dari Nusantara dan Eropa ini yang melahirkan identitas sebagai "Orang Banda". Multietnis yang selama berabad-abad saling kawin mawin dan beranak pinak lantas mengidentifikasi diri sebagai sesama putra putri Banda Neira. Di awal kemerdekaan, bahkan masyarakat Banda mengangkat seorang keturunan Belanda, yang memilih menjadi bagian dari orang Indonesia, sebagai pemimpin administratif. Saya lupa namanya, tapi Des Alwi, sejarawan, menyebutnya dalam buku berjudul "Sejarah Banda Naira". Benar jika dikatakan oleh Bung Hatta, Banda Neira adalah Miniatur Indonesia. Plural dan Multikultural.

Bersama tim Ekspedisi Banda Neira, saya menginap di Hotel Cilu Bintang Estate milik Abah Rizal selama tiga hari dua malam. Lokasinya strategis. Dekat pelabuhan dan pasar. Pantai hanya berjarak 100 meter di belakang hotel. Di sampingnya, terdapat Monumen Parigirante. Sebuah sumur tua yang diapit oleh rantai, disertai dua meriam besar Belanda di sisi kiri dan kanan. Di situ juga tertera nama-nama para korban kekejaman VOC pada 8 Mei 1621 maupun nama tahanan politik Hindia Belanda, termasuk 3 nama ulama Blitar yang kami lacak: Kiai Muhammad Bukhori, Kiai Shofwan dan Kiai Abdullah Faqih, yang diasingkan ke sini pada 1926-1938.

Pada Jumat pagi (5/3/2021), Abah Rizal menyambut rombongan kami dengan tarian Petik Pala yang diperagakan dengan atraktif oleh para remaja putri. Selain tifa dan rebana, ada juga gamelan mini. Penabuhnya menggunakan kopiah hitam, bercelana katun pekat dibalut sarung batik sebatas lutut. Pemandangan indah di pelataran hotel pada suatu pagi yang menunjukkan asimilasi kebudayaan yang unik: Maluku, Arab, Jawa, dan Melayu.

Abah Rizal orangnya asyik. Gaya bicaranya cenderung meledak-ledak antusias. Selera humornya juga berkelas. Duduk sebentar saja dengan dia, selalu ada joke terbaru yang dilontarkan. Ada satu lagi yang membuat saya terkesan. Jika kita ajak diskusi soal Banda Neira: sejarah keemasan rempah, penderitaan atas penjajahan, hingga kultur-sosiologis masyarakat Banda, pria berusia 47 tahun ini bisa bertutur dengan lihai. Detail juga dia ungkap. Kita lontarkan satu pertanyaan kepadanya, dia bisa menyahut dengan rentetan jawaban disertai data yang komplit. Semua tentang tanah kelahiran yang dia cintai.

"Saya dulu orangnya nakal. Tapi bukan nakal minum atau kriminal. Saya hanya suka berkelahi. Akhirnya saya capek, pengen fokus memberikan manfaat bagi pulau kecil ini," katanya dalam sebuah obrolan ringan.

Kemudian, dia belajar dengan baik sejarah lisan dan tulisan tentang Banda Neira, lantas memupuknya dengan kursus bahasa Inggris dan Jerman. Sedangkan Belanda, walaupun pasif, tapi lumayan cukup untuk memandu Bule Londo yang juga banyak bernostalgia dengan peninggalan leluhurnya.

Merasa kurang total, dia merogoh kocek dengan membeli rumah tua berarsitektur kolonial. Bangunan kuno milik keluarga keturunan Belanda. Abah Rizal merenovasinya, mengembalikan bentuk aslinya, dan mengubahnya menjadi hotel. Dia beri nama bangunan eksotik ini dengan Cilu Bintang, nama seorang putri cantik dalam legenda masyarakat Banda Neira.

Segala sesuatu di hotel ini memang bercita rasa Banda Neira masa lalu. Pernak pernik klasik warisan kolonialisme Eropa, dari pintu gerbang berdesain logo VOC, senapan, pistol kuno, pedang, peta, gelas, hingga meriam kecil dia taruh di sudut-sudut hotel. Pas betul. Interior klasik juga dia desain agar pas dengan nuansa kolonial.

"Saya berburu barang-barang antik ini dari Banda Neira, Banda Besar, Kei, Ai, Seram dan pulau-pulau Maluku lain. Kalau ke Surabaya, saya juga cari di beberapa penjual barang antik," kata Abah Rizal menjelaskan.

Dia juga menyediakan perpustakaan mini multibahasa yang berisi berbagai buku tentang Maluku dan Banda Neira yang terletak di samping resepsionis. Apalagi hotel Cilu Bintang Estate yang dia kelola diapit dua raksasa bengis di masa lalu: Benteng Nassau dan Belgica. Komplit sudah nuansa kolonialnya. 

Abah Rizal menguasai teknik komunikasi yang baik. Dia juga memiliki kemampuan historis yang oke. Trah Bahalwan ini bisa mengulas sejarah pulau elok yang dia tinggali berikut detail tahun dan lokasi peristiwa. Dia tipikal pegiat pariwisata yang tahu betul melayani turis: menyediakan hotel bernuansa klasik, pernak-pernik bersejarah, foto hitam putih di dinding hotel, kunjungan ke lokasi alam yang indah, perziarahan ke tempat bersejarah dan remah-remah sejarah Banda Neira, serta melengkapi uraiannya tentang tradisi serta adat masyarakat.

"Saya ikuti saja jejak Pak Des Alwi. Ingin memperkenalkan Banda Neira bagi orang luar, sekaligus menjaga warisan masa lalu di sini." katanya. 

Dia tidak ingin ada investor luar masuk. Alasan ini bukan semata urusan bisnis. Sebab, baginya, jika ada investasi luar masuk lebih banyak dampak negatifnya. "Biarlah alam indah dan warisan masa lalu ini kami yang mengelola. Kami tahu betul detail pulau kami. Kami juga ingin menjadi tuan rumah yang baik di tanah ini." ulasnya dengan gaya yang khas. 

"Coba lihat beberapa pulau eksotik di Indonesia yang dikelola investor luar. Pada akhirnya, masyarakat tersingkir. Menjadi asing di tanahnya sendiri. Lalu, gaya hidup asing mulai mempengaruhi anak-anak mudanya. Akhirnya mereka tercerabut dari akar budayanya." lanjutnya.

Dulu, katanya, ada yang membuka karaoke. Hanya sebentar. Lalu tutup. Penyebabnya, diprotes warga. Sebab, lebih banyak uang yang dipakai karaokean dibandingkan dengan jatah buah keluarganya. 

"Awalnya, para nelayan melaut. Biasanya semua uang hasil jual ikan dia kasih buat keluarga. Eh, setelah ada karaoke, malah tidak jujur. Dapat dua ikan, eh dibilang ke istri kalau cuma dapat satu. Soalnya uangnya habis di karaokean." katanya terbahak.

Jadi, kata Abah Rizal, jangankan diskotek, tempat karaoke pun tak ada di Banda Neira. Ini yang ingin kita pertahankan, lanjutnya.

Sabtu (7/3/2021) di lantai dua hotel milik Abah Rizal, saya duduk sembari menyeruput kopi di senja hari. Sambil menatap keperkasaan benteng Nassau dan Gunung Api Banda di seberang lautan saya merasakan sebuah sensasi. Mungkin, dulu para juragan pala Eropa pernah berada di lokasi yang sama dengan saya, melakukan hal yang serupa di pengujung senja. Sembari menghitung catatan laba dan mendengar lonceng besar yang dihentakkan mandor untuk memaksa para kuli petik buah pala menyudahi pekerjaannya. (*)

(Bersambung)

*) Penulis Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Dody Bayu Prasetyo
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.