https://jember.times.co.id/
Opini

Mengkritisi Otoritas

Sabtu, 29 November 2025 - 17:17
Mengkritisi Otoritas Sirajuddin, M.MT, Ketua Center for Islamic Economics Studies, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, dan Staff Bagian Layanan UPT Perpustakaan, UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

TIMES JEMBER, JEMBER – Akhir-akhir ini kita sering disuguhi berita tentang tokoh-tokoh yang dianggap punya otoritas besar di masyarakat. Apalagi dengan hadirnya media sosial sebagai daya pengungkit dalam menciptakan reputasi, membuat masyarakat semakin mudah mengenal, mengikuti, dan mendengarkan mereka. Sehingga dengan cepat seorang bisa naik kelas menjadi figur berotoritas. Sebagai awalan, otoritas merupakan legitimasi pengaruh yang membuat seseorang dipercaya, didengar, dan diikuti. 

Dalam realitas sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia, seorang yang memiliki otoritas keagamaan sering menempati posisi yang strategis, sehingga segala ucapan dan tindakan mereka punya pengaruh besar di masyarakat. Tidak mengherankan jika politik lima tahunan pun sangat bergantung pada legitimasi tokoh-tokoh ini dalam upaya memenangkan kontestasi para elit politik.

Namun, potensi masalah muncul ketika otoritas itu mulai bersentuhan dengan hal-hal yang menyinggung moral, atau bahkan sampai menimbulkan tindakan penyimpangan. Bayangkan, jika ada seseorang yang memiliki otoritas lebih tinggi di atas kita (dalam kacamata sosial), lantas dia meminta kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan moral kita, apa yang akan terjadi? tentu semua orang akan menjawab, “Ya enggak lah, mana mungkin saya ngelakuin gitu”. 

Atau dalam situasi lain bayangkan jika orang yang selama ini kita hormati ternyata melakukan tindakan yang dianggap melampaui batas. Bagaimana reaksi kita? Apakah kita akan mengecam? Atau menormalisasi dan menoleransi seolah-olah “ya sudah, mungkin ada niatan baik”? Atau malah, tanpa kita sadari, kita ikut membenarkan sesuatu yang sebenarnya tidak pantas?

Terdapat sebuah penelitian tentang sifat manusia yang dilakukan oleh Stanlye Milgram(1963). Ternyata sifat manusia lebih mudah mengikuti perintah hanya karena yang memberi perintah memiliki otoritas, bukan karena perintah itu benar. 

Dalam penelitiannya, Stanley Milgram melakukan salah satu eksperimen tentang ketaatan (obedience) untuk mengetahui sejauh apa orang biasa rela menyakiti orang lain yang sama sekali tidak bersalah hanya karena mereka “diperintah.” oleh orang yang memiliki otoritas. 

Milgram memulai penelitiannya dengan memasang iklan di koran untuk mencari pria yang mau ikut penelitian di Universitas Yale. Ia memilih 40 relawan pria berusia 20-50 tahun dari berbagai profesi. Setiap peserta diberi pertanyaan untuk memastikan mereka sehat dan waras secara mental.

Di awal eksperimen, mereka diperkenalkan kepada peserta lain yang sebenarnya merupakan orang suruhan Milgram dan tahu bahwa eksperimen itu hanya rekayasa. Para relawan melakukan undian untuk menentukan peran sebagau Murid  atau Guru, walaupun bagian ini sudah di-setting: orang suruhan itu selalu menjadi Murid, dan relawan selalu menjadi Guru. Ada juga seorang “peneliti” yang memakai jas lab abu-abu, yang juga bagian dari eksperimen tersebut.

Dua ruangan digunakan dalam eksperimen itu: satu ruangan untuk Murid yang berisi kursi listrik, dan satu ruangan lainnya untuk Guru (relawan) dan peneliti (sosok otoritas berjas lab). Ruangan yang kedua juga berisi generator kejutan listrik (electric shock generator) yang terhubung dengan kursi listrik di ruangan lainnya.

“Murid” diikat ke kursi yang dihubungkan dengan konduktor listrik. Setelah Murid mempelajari daftar pasangan kata yang harus dihafal, “Guru” (relawan sungguhan yang tidak tahu bahwa ini eksperimen palsu) mengujinya dengan menyebutkan sebuah kata dan meminta Murid menyebutkan pasangannya dari empat pilihan jawaban.

Guru diarahkan oleh peneliti untuk memberikan kejutan listrik setiap kali Murid membuat kesalahan, dengan tingkat kejutan yang meningkat setiap kali terjadi kesalahan. Ada 30 opsi sakelar pada generator kejutan, mulai dari kejutan ringan, 15 volt hingga mencapai voltase tinggi, 450 volt.

Murid dibuat sengaja memberikan banyak jawaban salah, dan untuk setiap jawaban salah itu, Guru diperintahkan oleh peneliti untuk memberinya kejutan listrik. Di sinilah eksperimen menjadi temuan menarik.

Ketika Guru (relawan pria) menolak atau ragu untuk memberikan kejutan, peneliti berkata, “Jangan berhenti. Terus lakukan kejutan jika Murid salah menjawab. Anda harus melanjutkan apa pun yang terjadi.”

Murid (yang sebenarnya hanya berpura-pura dan tidak benar-benar disetrum) merintih kesakitan, memohon kepada guru dan peneliti untuk berhenti. Namun peneliti (dengan jas lab yang memberi kesan otoritas) tetap memerintahkan guru untuk terus menyetrum, meskipun murid berteriak kesakitan.

Hasil eksperimen ini bikin sesak dan mengelus dada, sebesar 66% peserta menekan semua sakelar hingga tingkat kejutan tertinggi. Dari semua 40 peserta, tidak satu pun berhenti pada saat si Murid pertama kali memohon agar mereka berhenti. Meskipun para peserta benar-benar percaya bahwa mereka sedang menyebabkan rasa sakit yang parah, mereka tetap melanjutkan karena diperintahkan oleh figur yang memiliki otoritas.

Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa seorang begitu mudah dipengaruhi oleh orang yang tampak memiliki otoritas? Faktor apa yang mempengaruhi? Dlam penelitiannya, Milgram menyatakan bahwa ada rasa kewajiban terhadap otoritas yang tertanam kuat dalam diri manusia. Kesimpulan Milgram: Temuan dari penelitian ini adalah betapa kuatnya kecenderungan seseorang untuk melakukan hampir apa pun ketika diperintah oleh seseorang yang berotoritas.

Pelajaran dari kasus Gus Elham yang viral karena gestur tidak pantas kepada anak-anak di panggung pengajian dan Kasus Gus Yahya terkait dicopotnya dari jabatan Ketua Umum PBNU, yang dipicu oleh kontroversi hubungan dengan Zionisme Internasional dan isu pelanggaran tata kelola keuangan, telah mengajarkan kita mengapa kita perlu mengkritisi otoritas. 

Ketika seseorang diberi otoritas keagamaan dan ditempatkan pada posisi yang tinggi, manusia sering kali memiliki kecenderungan membenarkan atau menoleransi apa pun tindakannya. Sebagaimana yang terjadi pada eksperimen Milgram, para partisipan sanggup memberikan “kejutan listrik” yang membahayakan orang lain hanya karena diperintah oleh figur berotoritas.

Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya manusia mematuhi perintah otoritas. Maka tak heran dalam beberapa kejadian, Ketika seorang yang dianggap berpengaruh melakukan tindakan yang tidak pantas atau instruksi yang bersifat absurd. Namun sebagian masih banyak yang menjadi anti-kritik, ada yang membela, ada yang menormalisasi sebagai bentuk pembenaran secara diam-diam, yang pada akhirnya menumpulkan kepekaan moral. 

Sejak kecil kita dibentuk untuk mematuhi otoritas. Di rumah, sekolah, pengajian, hingga lingkungan masyarakat, kita diajarkan bahwa ketidaktaatan itu salah. Dari keluarga, sekolah, pengajian, hingga lingkungan masyarakat, pelajaran patuh terhadap otoritas ini ditanamkan sejak dini: hormati otoritas, jangan mempertanyakan mereka, mereka pasti benar.

Padahal sikap patuh kepada seseorang tanpa berpikir, yang hanya karena seseorang tampak memiliki otoritas, menjadi hal yang tidak masuk akal jika membuat kita mengabaikan moralitas dan substansi perintah tersebut. Nabi SAW telah mengingatkan, “la tho‘ata li makhluuqin fi ma‘ṣiyatillah”  tidak ada kepatuhan kepada makhluk ketika perintahnya bertentangan dengan ajaran Allah.

Dari sini kita belajar bahwa otoritas keagamaan atau persepsi tentang otoritas keagamaan memiliki pengaruh besar dalam budaya kita. Mengetahui fakta ini bukan berarti kita harus berhenti menghormati otoritas keagamaan, kita tetap menghormati Kyai, para gawagis, nawaning, habaib,dan tokoh tokoh berpengaruh lainnya, tetapi Ilmu tetap nomor satu, semua harus atas nama ilmu, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Gus Baha. Prinsip ini sejalan dengan motto Royal Society di Inggris, “Nullius in verba”, jangan percaya hanya karena otoritas, percayalah pada eksperimen dan bukti (evidence). 

Kita manusia sudah dibekali Tuhan dengan akal dan akal itu diberikan untuk berpikir, menguji, dan membedakan mana yang benar karena ilmu, bukan karena siapa yang berotoritas mengatakannya. 

Mengkritisi bukan berarti suul adab, bukan pula tindakan yang dapat meruntuhkan institusi agama, melainkan untuk menjaga marwah diri dan orang lain dan agar ruang keagamaan tetap kredibel, bermartabat, serta tidak rawan disalahgunakan lagi. 

***

*) Oleh : Sirajuddin, M.MT, Ketua Center for Islamic Economics Studies, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, dan Staff Bagian Layanan UPT Perpustakaan, UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.