TIMES JEMBER, JEMBER – Saya biasanya suka menulis tentang ekonomi dan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan dalam konteks kekinian. Namun, 8 hari ini saya ingin merangkai kata untuk membersamai masyayikh, pengurus, santri, alumni dan wali santri Al Khoziny yang sedang berkabung atas musibah yang menimpa.
Kejadian yang tidak hanya menguras air mata, tetapi juga doa-doa dari seluruh masyarakat Indonesia. Terutama para orang tua yang memiliki anak-anak belajar di Pesantren. Ada perasaan was-was, khawatir bahkan takut dengan kondisi putera puterinya di Pesantren pasca kejadian itu.
Tentu saja, perasaan campur aduk ini, tidak datang begitu saja, namun juga dipengaruhi oleh narasi media sosial yang setiap hari memberikan versinya masing-masing. Belum lagi komentar-komentar, baik itu negative maupun positif.
Hari ini, kita hidup di era Post Truth, di mana fakta objektif sudah tidak menjadi fokus utama dalam membantuk opini masyarakat. Kebenaran yang beredar didasarkan pada emosi, sentiment pribadi dan tentu saja pendapat dominan yang menjadi pegangan.
Kebenaran yang sebenarnya menjadi kabur dan tidak terlihat dengan baik. Era ini sangat dipengaruhi oleh teknologi digital dan media sosial yang menjadi pencipta ruang gema (echo chamber) yang tidak didasarkan pada pengalaman, namun hanya berdasarkan opini dari informasi ke informasi.
Era Post Truth mungkin terasa menyenangkan bagi sebagian orang, karena bisa menghasilkan pundi-pundi uang untuk berbagai narasi yang dibuat. Akun bisa menjadi viral atau bahkan bisa mendatangkan berbagai simpati dari masyarakat. Meskipun masyarakat tidak tahu menahu fakta kebenarannya.
Di era ini, memang sulit untuk membangun rasa percaya kepada hal yang sesugguhnya dan objektif. Apalagi terkadang terasa kabur mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah. Akhirnya kita terkadang ikut terjebak, pada pola justifikasi pembenaran menurut versi yang sebenarnya kita tidak pernah mengetahuinya.
Fakta tersebut yang terus juga membersamai kisah dari robohnya bangunan mushalla Al Khoziny. Pondok Pesantren usianya sudah mencapai 1 abad dan telah melahirkan banyak masyayikh di negara ini.
Dalam perjalanan berita tentang pondok pesantren ini, narasi-narasi dan content tentang pesantren terus bermunculan, mulai dari penafsiran kata “takdir”, diviralkannya video “roan” suatu pondok pesantren, keteguhan-keteguhan para santri yang tetap kokoh keimanannya di tengah reruntuhan.
Kekuatan para tim penyelamat, ketabahan para orang tua bahkan protes orang keluarga korban, kehadiran pemerintah dalam setiap proses evakuasi dan viralnya temuan mobil “Mercy” di tengah-tengah reruntuhan serta narasi-narasi dan content lain yang bermunculan.
Narasi dan content yang muncul itu seharusnya tidak dimaknai secara sepihak dan negatif. Seharusnya di era digital yang post truth ini, justru kita membangun positif thinking kita dari sudut menguatkan para korban musibah dan ikut mendoakan, bukan memperparah keadaan dengan menyudutkan pendidikan di pesantren.
Positive thinking atau husnudzon merupakan cara terbaik untuk memberikan bantuan immaterial bagi pesantren Al Khoziny. Karena narasi positif akan menghasilkan sikap yang positif.
Memang terasa sulit, membangun husnudzon di tengah-tengah musibah, namun harus kita lakukan untuk memberikan energi positif bagi seluruh korban. Karena, setiap musibah pasti ada duka di dalamnya.
Pengasuh sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas berjalannya roda pesantren tentu menjadi pihak yang paling terpukul dengan kejadian tersebut. Tidak mungkin ada pembiaran dan lepas dari tanggung jawab sebagai pimpinan pesantren. Tetapi, mari kita tetap memberikan support terbaik dengan berpikir positif kepada beliau dan menyerahkan urusan ini kepada para ahlinya.
Jangan mendadak kita menjadi orang yang paling ahli dalam bidang yang selama ini kita tidak geluti. Kita yakini bersama bahwa kejadian ini membawa hikmah bagi dunia pesantren. Harus ada pembenahan dari sisi pembangunan fisik dan berbagai hal yang ditujukan untuk keamanan santri dalam menuntut ilmu.
Pesantren harus hadir sebagai rumah kedua yang bisa dipercaya wali santri bukan hanya untuk mendidik akhlak dan keilmuan yang lebih baik, namun juga keamanan dalam bertempat tinggal.
Menjelang peringatan Hari Santri 22 Oktober 2025, hadiah Alfatihah terindah mari kita berikan kepada anak-anak kita para Syuhada’ Al Khoziny. Mari kita bangun pola pikir yang positif untuk kemajuan pesantren di Indonesia.
***
*) Oleh : Nikmatul Masruroh, Dosen di UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |