TIMES JEMBER, JEMBER – Jember kini di ambang krisis ekonomi yang serius, kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang parah telah melumpuhkan denyut nadi perekonomiannya. Akar masalahnya bersumber dari dua simpul vital di arah timur dan utara yang kini lumpuh total, mengancam tak hanya stabilitas sehari-hari, tetapi juga pelayanan dasar seperti pendidikan dan sektor lain.
Dari sisi timur, jalur Gunung Gumitir, yang selama ini menjadi urat nadi distribusi BBM dari Banyuwangi, kini tak berdaya. Longsor dan perbaikan jalan tutup total selama 2 (dua) bulan, menciptakan kekosongan pasokan yang mematikan. Jalur ini, krusial bagi mobilitas barang dan jasa, kini hanyalah jalur buntu yang memperparah penderitaan.
Dari sisi utara tak kalah parah, kemacetan terjadi di Jalur Baluran-Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi, gerbang utama arus barang dan manusia dari Bali ke Jawa, juga bernasib serupa.
Pasca kecelakaan kapal yang disusul temuan mengejutkan tentang banyaknya armada penyeberangan yang tidak laik operasi. Akibatnya, antrean truk logistik mengular, memutus jalur pantura yang krusial sebagai jalur distribusi utama ke Jember.
Efek domino dari kedua penyumbatan ini langsung terasa di Jember. BBM menghilang dari berbagai SPBU, distribusi barang terhambat parah, dan aktivitas masyarakat pun kian lumpuh.
Di tengah kabar kelangkaan ini, kepanikan massal tak terhindarkan. Fenomena panic buying meluas, warga memborong BBM lebih banyak dari biasanya, menyimpannya dalam jeriken atau tangki cadangan.
Mirisnya, sebagian dari mereka bahkan mengambil keuntungan dari kesengsaraan ini, membeli BBM dalam jumlah besar bukan untuk konsumsi pribadi, melainkan untuk dijual kembali dengan harga jauh lebih tinggi di pasar gelap, memperkeruh situasi dan menambah beban masyarakat.
Fenomena ini, dalam kacamata ekonomi adalah gambaran nyata dari hukum penawaran dan permintaan yang tak terbantahkan. Ketika pasokan (penawaran) BBM terganggu drastis karena hambatan distribusi, sementara permintaan tetap tinggi atau bahkan meningkat karena panic buying, otomatis harga di pasar akan melonjak tak terkendali.
Ini menciptakan peluang bagi individu tak bertanggung jawab untuk melakukan penimbunan dan penjualan di pasar gelap, memanfaatkan ketidakseimbangan yang terjadi. Akibatnya, distribusi menjadi tidak merata, dan harga yang seharusnya terjangkau menjadi melambung tinggi, membebani masyarakat yang paling membutuhkan.
Situasi ini juga mendorong Bupati Jember untuk mengambil langkah darurat, seperti memberlakukan pembelajaran daring bagi pelajar dan kebijakan bekerja dari rumah (WFH) bagi pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jember. Ini adalah bukti nyata betapa krusialnya jalur distribusi yang lancar untuk keberlangsungan hidup sebuah wilayah.
Ironisnya, krisis ini terjadi ketika Jember akan menghelat pagelaran kelas dunia Jember Fashion Carnaval 2025 pada 8-10 Agustus 2025 di pusat kota. Kelumpuhan ekonomi dan transportasi akibat kelangkaan BBM tentu akan menjadi ancaman serius bagi kesuksesan acara berskala internasional ini, yang seharusnya membawa nama baik Jember di mata dunia.
Tanpa solusi permanen yang terencana dan terkoordinasi, Jember terancam menghadapi krisis ekonomi dan sosial yang lebih dalam, bahkan berpotensi meredupkan cahaya pagelaran yang telah mendunia.
***
*) Oleh : A. Ghofur, S.Pd., S.A.P., Pegiat Sosial dan Lingkungan, Rengganis Indonesia Foundation.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |