TIMES JEMBER, JEMBER – Bencana di Sumatera kembali mengguncang kesadaran nasional. Di tengah hiruk pikuk politik dalam negeri dan dinamika geopolitik kawasan, tragedi ini menghadirkan refleksi penting: Indonesia bukan hanya negara rawan bencana, tetapi juga negara yang selalu diawasi dunia dalam setiap responsnya.
Gempa, banjir, dan longsor yang merenggut banyak korban jiwa bukan hanya soal kesedihan lokal, tetapi juga cermin kemampuan negara terbesar di Asia Tenggara dalam menangani krisis.
Ketika Sumatera dilanda bencana, yang dilihat dunia bukan sekadar kerusakan fisik, tetapi bagaimana Indonesia merespons sebagai negara pemimpin kawasan. Seberapa siap Indonesia memimpin kawasan ketika dirinya sendiri tengah diuji oleh bencana bertubi-tubi?
Setiap kali bencana terjadi, publik cenderung menilai hal-hal praktis dan kasat mata: kecepatan tim SAR, distribusi bantuan, atau kemampuan koordinasi antarlembaga. Namun persoalan yang jarang dibahas lebih dalam adalah bagaimana mitigasi risiko, tata kelola kebencanaan, dan ketangguhan negara memengaruhi persepsi internasional terhadap Indonesia.
Dalam era digital, rekaman warga yang menunggu evakuasi, relawan yang bekerja dengan peralatan terbatas, atau tumpang tindih informasi menjadi bagian dari potret kapasitas negara bukan hanya untuk konsumsi domestik, tetapi juga regional.
Respons bencana secara langsung memengaruhi legitimasi kepemimpinan Indonesia di Asia Tenggara. Negara-negara tetangga memperhatikan dengan saksama, apakah Indonesia bergerak cepat dan profesional, atau justru terlihat gagap.
Bencana di Sumatera pada hakikatnya bukan peristiwa lokal, melainkan persoalan transnasional: kabut asap yang dapat melintasi batas negara, jalur logistik yang terganggu, hingga gangguan perdagangan dan migrasi sementara. Karena itu, mekanisme regional seperti AHA Centre hanya akan efektif jika negara utama seperti Indonesia menunjukkan kesiapan dan kepemimpinan yang tegas.
Ujian selanjutnya adalah solidaritas dan diplomasi kemanusiaan. Negara besar sering kali merasa canggung ketika menerima bantuan dari negara yang lebih kecil. Namun bencana bukan soal gengsi. Menerima bantuan internasional secara transparan, mengoordinasikan distribusi dengan sistematis, dan membuka data publik bukan bentuk kelemahan, melainkan profesionalisme.
Di banyak negara maju, kemampuan mengelola bantuan justru menjadi simbol kedewasaan negara dalam menghadapi krisis. Indonesia memiliki peluang untuk membuktikan diri pada titik ini bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan mekanisme penanganan bencana yang kredibel.
Dalam kerangka teoretis, pemikiran Ulrich Beck dalam Risk Society (1992) memberi kacamata tajam untuk membaca situasi ini. Beck menegaskan bahwa masyarakat modern tidak lagi dibentuk oleh distribusi kekayaan, tetapi oleh distribusi risiko.
Risiko ekologis dan bencana alam menjadi ukuran baru kapasitas negara. Negara modern sering terjebak dalam “ilusi kontrol” merasa siap menghadapi bencana, tetapi terkejut ketika kenyataan datang lebih cepat dan lebih keras dari prediksi.
Bencana Sumatera, dengan kompleksitas respons dan koordinasinya, menunjukkan realitas tersebut: ancaman era baru menuntut negara bergerak cepat, transparan, dan terkoordinasi lintas lembaga serta lintas negara. Jika tidak, legitimasi negara akan runtuh, baik secara domestik maupun internasional.
Dari sini kita sampai pada pertanyaan mendasar: apakah Indonesia benar-benar siap memimpin kawasan di era risiko? Retorika seperti “poros maritim dunia”, “Indo-Pasifik”, atau “keamanan manusia” memang terdengar megah.
Namun bencana memaksa kita menatap fondasi paling elementer dalam tata kelola negara: manajemen risiko, mitigasi, kesiapan sistemik, dan kesanggupan menerima kolaborasi regional. Jika persoalan dasar ini belum sepenuhnya terbangun, maka ambisi kepemimpinan kawasan hanya akan berdiri pada pondasi rapuh.
Bencana Sumatera bukan sekadar tragedi kemanusiaan. Ia adalah momentum evaluasi nasional, sekaligus panggung diplomasi internasional. Bila Indonesia merespons cepat, profesional, dan transparan, maka kepercayaan regional akan menguat dan kepemimpinan Indonesia semakin solid.
Namun jika bencana kembali ditangani dengan pola lama reaktif, birokratis, dan terfragmentasi maka kawasan akan terus mempertanyakan kesiapan Indonesia menghadapi era risiko yang semakin kompleks.
Kepemimpinan bukan hanya tentang keberanian berbicara di forum internasional, tetapi tentang kemampuan menghadapi kenyataan paling sulit dalam negeri. Di era risiko, reputasi negara tidak dibangun di ruang konferensi, tetapi di tengah lumpur bencana.
***
*) Oleh : Moh. Iqbal Bulgini, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, dan dosen UIN Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |