TIMES JEMBER, JEMBER – Krisis lingkungan bukan lagi sekadar wacana akademik, tetapi kenyataan sehari-hari. Banjir yang tak menentu, cuaca ekstrem, kekeringan panjang, hingga kualitas udara yang kerap melampaui ambang aman menunjukkan bahwa manusia dan alam tengah berada dalam ketegangan serius.
Di tengah persoalan ini, negara memegang peran penting. Namun peran itu tidak cukup ditopang oleh pendekatan teknokratis semata; ia membutuhkan fondasi etis yang lebih dalam. Di sinilah ekoteologi menawarkan pijakan baru.
Ekoteologi menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupan moral manusia. Alam bukan sekadar ladang ekonomi, tetapi bagian dari ekosistem kehidupan yang harus dihormati. Pandangan ini sejalan dengan nilai-nilai banyak agama dan budaya di Indonesia yang sejak lama mengajarkan keselarasan serta kehati-hatian dalam mengelola bumi.
Prinsip tanggung jawab, keseimbangan, dan keberlanjutan telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat adat maupun ajaran keagamaan. Tantangannya, nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya menjadi arus utama dalam kebijakan publik.
Indonesia memiliki modal alam yang luar biasa. Namun tekanan terhadap lingkungan terus berlangsung, terutama akibat ekspansi lahan dan aktivitas industri. Salah satu data yang menggambarkan kondisi ini adalah laporan kehilangan lebih dari 260 ribu hektare hutan dalam setahun terakhir.
Angka tersebut bukan sekadar statistik; ia berarti hilangnya ekosistem, sumber air, serta perlindungan alami bagi banyak komunitas. Tanpa perubahan pendekatan, tekanan serupa akan terus berulang.
Dalam konteks itulah negara perlu mengintegrasikan prinsip ekoteologi ke dalam kebijakan. Ini bukan soal membawa agama ke dalam politik, tetapi memasukkan etika ekologis sebagai dasar pengambilan keputusan. Perizinan industri, misalnya, tidak bisa hanya ditentukan oleh potensi investasi, tetapi juga oleh kapasitas alam untuk pulih.
Pola penggunaan lahan pun tidak layak jika hanya berorientasi jangka pendek. Perubahan paradigma menjadi mendesak: dari “apa yang bisa diambil dari alam” menjadi “apa yang harus dijaga agar kehidupan tetap berlanjut.”
Ekoteologi juga mengingatkan bahwa persoalan lingkungan selalu terkait erat dengan keadilan sosial. Kelompok yang paling terdampak kerusakan lingkungan adalah mereka yang paling sedikit memiliki akses politik: masyarakat pesisir, petani kecil, dan komunitas adat.
Ketika hutan rusak, mereka kehilangan sumber hidup; ketika cuaca berubah, mereka kehilangan masa panen; ketika laut tercemar, mata pencaharian mereka lenyap. Perspektif ekoteologis menuntut negara untuk memprioritaskan kelompok rentan ini dalam perencanaan kebijakan.
Menggabungkan negara dan ekoteologi bukan berarti menolak pembangunan. Justru sebaliknya, pembangunan menjadi lebih bermakna karena mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang.
Pembangunan yang berorientasi ekologis dapat menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi risiko bencana, meningkatkan ketahanan pangan, dan menjaga kesehatan masyarakat. Negara tidak kehilangan perannya sebagai motor kemajuan, tetapi memperluas fungsinya sebagai penjaga kehidupan.
Krisis iklim memberi pesan yang tegas: hubungan manusia dengan alam sedang berada pada titik kritis. Negara memiliki ruang untuk mengubah arah, sementara ekoteologi memberikan panduan moral agar perubahan itu tidak hanya bersifat administratif, tetapi berakar pada nilai kemanusiaan.
Jika negara berani memelajari kembali relasinya dengan alam, pembangunan Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih adil, lebih bijak, dan lebih selaras dengan kehidupan. (*)
***
*) Oleh : M. Khusna Amal, Wakil Rektor I Universitas Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |