TIMES JEMBER, JEMBER – Kemajuan teknologi telah mengubah kehidupan manusia dengan cara yang hampir tak terbayangkan. Dalam hitungan detik, pesan dapat sampai ke belahan dunia lain, kendaraan canggih mempersingkat perjalanan yang dulu memakan waktu berhari-hari, dan mesin pintar menggantikan pekerjaan berat dengan efisiensi yang menakjubkan.
Semua ini memberi kesan bahwa manusia telah menaklukkan waktu dan ruang, bahwa kemudahan, kecepatan, dan efisiensi kini menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Teknologi menjanjikan kenyamanan instan dan produktivitas tinggi, membuat kita merasa bahwa setiap hal menjadi mungkin.
Dalam dunia yang serba cepat ini, kita sering lupa bahwa setiap inovasi membawa konsekuensi yang tidak terlihat, konsekuensi yang berakar pada eksploitasi alam yang semakin brutal.
Di balik gemerlap kemajuan itu, tersembunyi dilema yang mendalam. Setiap peningkatan produktivitas industri, setiap perangkat digital yang kita gunakan, setiap perjalanan instan yang kita nikmati, semuanya membutuhkan sumber daya alam yang besar.
Pusat-pusat produksi global menguras energi, menebang hutan, dan mencemari sungai, sementara manusia menilai pertumbuhan ekonomi dan kenyamanan sebagai tolok ukur kesuksesan.
Data International Energy Agency mencatat bahwa sektor industri menyumbang sekitar 24% emisi gas rumah kaca global pada 2022, akibat proses pembakaran bahan bakar fosil untuk produksi baja, semen, dan bahan kimia.
Industri tekstil, khususnya fast fashion, menghasilkan jutaan ton limbah kimia yang mencemari lingkungan, namun tetap dianggap sebagai simbol kemajuan ekonomi. Inilah ironi pertama dari kemajuan teknologi, bahwa inovasi yang dimaksudkan untuk mempermudah hidup justru mempercepat kerusakan bumi.
Transportasi modern menegaskan dilema ini. Pesawat, kapal, dan kendaraan darat yang semakin canggih memungkinkan mobilitas manusia tanpa batas, tetapi setiap perjalanan meninggalkan jejak ekologis yang nyata.
Menurut International Civil Aviation Organization, penerbangan komersial menyumbang sekitar 2,5% emisi karbon global, dan tren ini meningkat seiring bertambahnya jumlah penumpang.
Di darat, kendaraan berbahan bakar fosil masih mendominasi di banyak negara, dan studi European Environment Agency menunjukkan bahwa lalu lintas jalan raya menyumbang lebih dari 70% polusi nitrogen oksida di kota-kota besar Eropa.
Kita menikmati kemudahan transportasi modern, tetapi udara yang kita hirup semakin tercemar, dan perubahan iklim pun semakin nyata. Setiap inovasi yang mempermudah hidup manusia membawa dampak ekologis yang sering kali tidak kita sadari.
Selain itu, kemajuan teknologi telah membentuk budaya konsumtif yang masif. E-commerce, perangkat pintar, media sosial, dan tren fast fashion menciptakan dorongan untuk memiliki lebih banyak barang dalam waktu singkat.
Menurut UN Environment Programme, konsumsi elektronik global meningkat sekitar 21% antara 2010 hingga 2020, menimbulkan produksi massal barang yang menggunakan sumber daya alam tidak terbarukan. Hutan ditebang untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, polusi air meningkat akibat limbah industri, dan emisi karbon meningkat dari distribusi global.
Gaya hidup ini, meskipun memudahkan manusia, menimbulkan tekanan ekologis yang besar. Teknologi yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan kini menjadi pemicu kerusakan lingkungan secara sistematis.
Pusat data digital menjadi ilustrasi paling nyata dari paradoks ini. Setiap pesan, video, dan transaksi online melewati server yang membutuhkan daya listrik besar dan sistem pendinginan intensif. Laporan The Shift Project menunjukkan bahwa konsumsi energi global oleh pusat data mencapai sekitar 1% dari total listrik dunia, dan meningkat 8% per tahun.
Jika energi ini berasal dari bahan bakar fosil, kenyamanan digital yang kita nikmati setiap hari justru menjadi kontributor signifikan terhadap krisis energi dan perubahan iklim. Kita terhubung secara instan, namun bumi menanggung beban yang tak terlihat: emisi karbon yang meningkat, penggunaan air yang besar untuk pendinginan, dan degradasi lingkungan di sekitar lokasi pusat data.
Selain konsumsi energi, limbah elektronik atau e-waste juga menjadi ancaman serius. Global E-waste Monitor 2023 mencatat bahwa 59,1 juta ton limbah elektronik dihasilkan pada 2021, namun hanya 17,4% yang didaur ulang secara formal. Sisa limbah mengandung logam berat beracun seperti merkuri, kadmium, dan timbal, yang mencemari tanah, air, dan udara.
Di Agbogbloshie, Ghana, ribuan ton ponsel dan perangkat elektronik dibongkar secara manual, melepaskan racun ke lingkungan dan mengancam kesehatan manusia. Kenyamanan teknologi, akses informasi, dan konektivitas digital ternyata meninggalkan jejak ekologis yang nyata dan merusak, sebuah ironi yang sulit diabaikan.
Ironi ini bukan sekadar kontradiksi biasa; ia adalah dilema moral dan eksistensial. Di satu sisi, manusia menciptakan inovasi untuk meningkatkan kualitas hidup, efisiensi, dan produktivitas.
Di sisi lain, inovasi itu merusak fondasi ekologi yang menopang kehidupan. Setiap kemajuan teknologi membawa tanggung jawab yang besar, dan setiap konsumsi memiliki dampak ekologis yang nyata.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah manusia siap menanggung konsekuensi dari ciptaan mereka sendiri, ataukah kenyamanan instan akan terus diprioritaskan atas keberlanjutan planet ini.
Namun, dilema ini bukan tanpa harapan. Teknologi dapat diarahkan untuk selaras dengan prinsip keberlanjutan jika diimbangi kesadaran ekologis dan kebijakan tegas. Penerapan teknologi berkelanjutan, seperti kendaraan listrik dengan baterai daur ulang, energi surya untuk pusat data, dan pertanian presisi yang mengurangi penggunaan air dan pestisida, menjadi langkah nyata untuk mengurangi dampak lingkungan.
Kebijakan lingkungan yang ketat, termasuk pajak karbon, batas emisi industri, dan insentif bagi inovasi ramah lingkungan, memastikan industri tidak berjalan tanpa kontrol. Transparansi industri memungkinkan konsumen mengetahui jejak karbon dan dampak ekologis produk, sehingga pilihan konsumsi menjadi lebih bijak.
Pendidikan ekologi digital menjadi kunci lain. Kesadaran akan dampak teknologi terhadap lingkungan harus ditanamkan sejak dini, sehingga generasi muda mampu membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Kolaborasi global juga sangat penting karena krisis lingkungan bersifat lintas batas. Pengelolaan limbah, energi terbarukan, dan inovasi bersih membutuhkan kerja sama internasional.
Pendekatan berbasis alam (nature-based solutions) seperti pertanian regeneratif, restorasi lahan, dan penggunaan biomaterial, dapat menyeimbangkan inovasi manusia dengan kelestarian ekosistem.
Semua langkah ini menegaskan satu pesan penting: kemajuan teknologi dan keberlanjutan lingkungan tidak harus bertentangan; keduanya dapat berjalan beriringan jika manusia siap bertanggung jawab.
Ironi kemajuan teknologi yang merusak bumi adalah peringatan keras bagi setiap generasi. Teknologi, dengan segala keajaibannya, bukan sekadar alat; ia adalah cermin moral yang menyoroti sejauh mana manusia mampu hidup selaras dengan alam.
Setiap inovasi membawa konsekuensi ekologis yang nyata, dan setiap pilihan konsumsi mencerminkan tanggung jawab kita terhadap bumi. Jika kemajuan teknologi hanya diukur dari kenyamanan, efisiensi, atau keuntungan finansial, maka generasi mendatang akan menanggung beban kerusakan yang kita wariskan.
Namun, jika inovasi dibarengi kesadaran ekologis, teknologi bisa menjadi penyelamat bumi, bukan musuhnya. Pilihan ada di tangan manusia: apakah kita ingin mewariskan dunia yang lestari, ataukah terus mengejar kenyamanan instan yang merusak planet ini?
Kesadaran akan ironi ini harus menjadi pemicu perubahan. Bukan sekadar rasa bersalah pasif, tetapi tindakan kolektif nyata dari kebijakan publik, industri, hingga perilaku individu. Setiap keputusan industri, setiap pilihan konsumen, dan setiap langkah kebijakan publik adalah kontribusi terhadap masa depan bumi.
Kemajuan sejati bukan hanya tentang menciptakan inovasi baru, tetapi juga tentang menjaga dunia agar tetap mendukung kehidupan. Hanya dengan demikian, manusia dapat menikmati kemajuan teknologi tanpa meninggalkan kerusakan ekologis yang tak terperbaiki.
Kita harus belajar bahwa teknologi yang benar-benar maju adalah teknologi yang memberdayakan manusia sekaligus melindungi bumi, sehingga ironi yang selama ini terjadi bisa diubah menjadi peluang untuk keberlanjutan yang sesungguhnya.
Bumi yang kita tinggali bukanlah sumber daya yang tak terbatas; ia adalah rumah yang harus dijaga. Setiap alat digital, setiap mesin industri, dan setiap kendaraan yang kita nikmati memerlukan bahan baku dan energi yang berdampak pada lingkungan. Jika kita tidak mengubah pola pikir dan perilaku kita sekarang, kemajuan teknologi yang selama ini kita puji akan menjadi penyebab kerusakan ekologis yang tak terelakkan.
Tetapi jika kita mampu menyadari ironi ini, memahami konsekuensi ekologis dari setiap inovasi, dan mengambil tindakan nyata, maka teknologi bisa menjadi kekuatan yang memperkuat kelestarian bumi, bukan menghancurkannya. Kesadaran dan tindakan ini adalah warisan paling berharga yang bisa kita tinggalkan bagi generasi mendatang.
***
*) Oleh : Isna Asaroh, Ketua PC KOPRI Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |