https://jember.times.co.id/
Opini

Momen Sakral dan Profan Hari Pahlawan

Minggu, 09 November 2025 - 16:43
Momen Sakral dan Profan Hari Pahlawan Hidayat Norwahit, Mahasiswa UIN Khas Jember.

TIMES JEMBER, JEMBER – Dulu, Hari Pahlawan dirayakan dengan penuh kekhidmatan. Setiap sekolah, kantor, dan lembaga pemerintahan mengisinya dengan upacara yang mengandung nilai patriotisme yang kental. 

Masyarakat mengenang, mengukuhkan, bahkan memuja para pejuang lewat penghormatan, doa, dan tindakan nyata. Momen kesakralan itu muncul dari kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari linang darah dan hujan air mata.

Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai momen yang sarat makna sejarah dan emosional perjuangan. Momentum ini tidak hanya menjadi pengingat atas perjuangan para pembela bangsa, tetapi juga ruang refleksi terhadap nilai-nilai kepahlawanan yang menjadi fondasi moral bangsa. 

Di tengah arus modernitas dan budaya digital yang semakin mengakar, makna sakral dari Hari Pahlawan kini mulai bergeser menuju ruang profan. Yang mana peringatan heroik tersebut lebih sering dilakukan sebagai ajang seremonial dan simbolik semata.

Fenomena ini dapat disebut sebagai bentuk profanisasi makna perjuangan. Sehingga, nilai-nilai luhur yang semula bersifat emosional, spiritual, dan historis direduksi menjadi sekadar atribut sosial. 

Banyak masyarakat sekarang yang cenderung membuktikan rasa cinta tanah air melalui platform media sosial dengan mengunggah kutipan Bung Karno, mengedit foto dengan latar bendera Sang Saka, atau menulis caption heroik. 

Padahal, semangat kepahlawanan sejati tidak diukur dari seberapa sering seorang memposting nasionalisme, melainkan dari sejauh mana ia menghidupkan nilai perjuangan dalam kehidupan.

Pergeseran tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya pada individu, sebab ada beberapa faktor yang turut membentuknya. Pertama, derasnya arus globalisasi telah membawa nilai-nilai baru yang sering kali bersifat pragmatis dan instan. 

Orientasi hidup masyarakat modern lebih tertuju pada pencapaian materi daripada pengabdian sosial. Hal ini membuat nilai pengorbanan yang merupakan esensi dari kepahlawanan semakin sulit ditemukan dalam praktik keseharian. 

Kedua, sistem pendidikan dan budaya publik kini lebih menonjolkan aspek kognitif daripada afektif. Akibatnya generasi muda hanya  tahu siapa para pahlawan bangsa, tetapi tidak memahami nilai perjuangan di balik nama-nama itu. Dan akhirnya, Hari Pahlawan hanya dikenang secara faktual, bukan secara moral.

Ketiga, media sosial yang menjadi ruang utama ekspresi generasi sekarang turut menciptakan realitas semu tentang kepahlawanan. Sehingga muncullah budaya profan yang terjadi dari dorongan ingin terlihat peduli, bukan dari kesadaran moral yang mendalam. 

Dalam konteks sosiologis, kepahlawanan adalah ekspresi tanggung jawab sosial, bukan performa digital. Ketika semangat nasionalisme hanya berhenti pada simbol, statistik metrik dan tidak menjelma menjadi tindakan, maka Hari Pahlawan kehilangan esensi sakralnya dan tergelincir ke wilayah profanitas sosial.

Meski demikian, penting bagi kita untuk memaknai ulang kepahlawanan melalui sudut pandang kontemporer. Kepahlawanan tidak hanya berkaitan dengan angkat senjata di medan perang, tetapi melawan bentuk penindasan seperti korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan sosial. 

Juga seperti guru yang sabar mendidik di pelosok, tenaga medis yang bekerja tanpa pamrih, hingga pemuda yang melawan hoaks di dunia maya. Semua adalah wujud kepahlawanan yang patut diapresiasi. 

Inilah bentuk sakralitas baru yang harus dihidupkan melalui perjuangan tanpa pamrih demi kemaslahatan bersama. Menjadi pahlawan tidak harus terkenal, cukup dengan berbuat baik, jujur, disiplin, dan memberi manfaat bagi sesama. 

Dalam hal ini, setiap warga negara berpotensi menjadi pahlawan dalam bidangnya masing-masing. Pahlawan masa kini adalah mereka yang setia pada integritas, menolak korupsi, menegakkan keadilan, dan menjaga perdamaian di tengah perbedaan.

Oleh karena itu, Hari Pahlawan tidak boleh terjebak dalam dualitas sakral dan profan semata. Ia harus menjadi jembatan antara refleksi masa lalu dan aksi masa kini. Sehingga sakralitasnya tetap terjaga dalam nilai moral yang dipegang teguh, sementara profanitasnya dimaknai sebagai ruang aktualisasi dalam kehidupan modern. 

Jika dua dimensi tersebut mampu disinergikan, maka Hari Pahlawan tidak akan kehilangan maknanya, melainkan terus relevan dan menjadi sumber inspirasi moral bagi perjalanan bangsa ke depan.

Dengan demikian, Hari Pahlawan bukan sekadar ritual nasional, tetapi momentum pembentukan karakter bangsa yang berjiwa bara dan bermental juang. Dari sakral menuju profan, dari simbol menuju tindakan, dari reminisensi menuju aktualisasi. 

Itulah jalan panjang peradaban untuk menghidupkan kembali semangat kepahlawanan di era yang serba instan. Sebab, bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang mengenang jasa pahlawannya, tetapi juga bangsa yang meneruskan perjuangannya dengan karya nyata. 

***

*) Oleh : Hidayat Norwahit, Mahasiswa UIN Khas Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.