https://jember.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Menghidupkan Nilai Kurban dan Mengokohkan Niat Haji

Kamis, 05 Juni 2025 - 08:36
Menghidupkan Nilai Kurban dan Mengokohkan Niat Haji Hidayat Nor Wahit, Mahasiswa UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.

TIMES JEMBER, JEMBER – Hari Raya Idul Adha selalu menghadirkan suasana sarat akan makna. Bukan sekadar momen libur panjang atau perayaan tahunan yang datang dan pergi begitu saja. Lebih dari itu, Idul Adha membawa pesan spiritual yang sangat dalam, baik melalui ibadah kurban maupun pelaksanaan ibadah haji. Dua ibadah ini tidak hanya menguji aspek material dan fisik, tetapi juga memperhalus dimensi batiniah dan spiritual manusia. 

Setiap tahun, selepas salat Ied kita menyaksikan suasana yang khas di kampung-kampung maupun kota-kota. Suara takbir bergema dari masjid dan mushalla, kemudian disusul prosesi penyembelihan hewan kurban yang menjadi pusat perhatian. Anak-anak, orang tua, hingga remaja, ikut serta menyaksikan atau membantu. 

Aktivitas ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Idul Adha. Namun, sesungguhnya, esensi kurban lebih dalam dari sekadar ritual menyembelih hewan. Ia adalah simbol keikhlasan, pengorbanan, dan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Secara etimologis, kata kurban berasal dari bahasa Arab qaraba yang berarti dekat. Ibadah kurban sejatinya adalah sarana pendekatan diri kepada-Nya dengan cara menyingkirkan segala bentuk penghalang duniawi baik berupa harta, ego, ambisi, maupun kecintaan terhadap sesuatu yang berlebihan. 

Dari ibadah kurban, kita diajarkan untuk mengutamakan kehendak Allah di atas keinginan pribadi, bahkan jika hal tersebut harus mengorbankan sesuatu yang kita cintai.

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi fondasi historis pelaksanaan kurban. Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai, beliau tidak menolak. Begitu pula Ismail, yang dengan penuh keimanan dan keikhlasan menerima keputusan tersebut. 

Ketundukan dua insan ini menjadi simbol ketakwaan tertinggi. Namun, di balik ujian itu, Allah justru memberikan kasih sayang-Nya dengan menggantikan Ismail dengan seekor domba. Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam syariat Islam sebagai ibadah kurban yang kita kenal hingga hari ini.

Lebih dari sekadar hubungan vertikal dengan Allah (habluminallah), ibadah kurban juga mengandung dimensi horizontal dengan sesama manusia (habluminannas). Daging hewan kurban yang dibagikan kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar mengajarkan kita pentingnya berbagi, toleransi, dan keadilan sosial. Ibadah ini menjadi momentum tahunan untuk mengurangi kesenjangan sosial serta memperkuat solidaritas antarumat.

Namun, dalam realitas yang terus berubah, tantangan baru muncul dalam menjaga kesucian makna ibadah, khususnya ibadah haji. Seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya taraf ekonomi sebagian umat Islam, ibadah haji kini sering kali dimaknai bukan lagi sebagai bentuk totalitas penghambaan, tetapi sebagai pencapaian status sosial. Fenomena ini dikenal sebagai desakralisasi ibadah haji.

Gelar Haji tidak jarang digunakan sebagai identitas prestise yang ditonjolkan di tengah masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus, orang lebih terpacu untuk berhaji demi gelar dan gengsi ketimbang benar-benar memahami esensi dari ibadah itu sendiri. 

Paket haji mewah yang menjanjikan kenyamanan dan eksklusivitas juga semakin menjauhkan umat dari nilai-nilai kesederhanaan yang dahulu sangat dijunjung tinggi oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Ibadah haji seharusnya menjadi momentum penyucian jiwa, perenungan hidup, dan penguatan keimanan. Haji adalah perjalanan spiritual yang membawa manusia kepada titik nol dirinya menanggalkan keangkuhan, kesombongan, dan keduniawian demi kembali kepada fitrah sebagai hamba Allah. Jika ibadah ini hanya dipersepsikan sebagai ajang pembuktian sosial, maka maknanya akan menjadi dangkal, bahkan kehilangan ruhnya.

Dalam konteks ini, kita semua sebagai umat Islam memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga dan mengembalikan kesucian makna dari kedua ibadah agung ini. 

Haji dan kurban bukanlah alat pencitraan atau simbol kekayaan. Keduanya adalah refleksi dari penghambaan sejati yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuan.

Di tengah arus modernitas, hedonisme, dan konsumerisme yang begitu kuat, Idul Adha menjadi pengingat yang sangat relevan. Bahwa keberagamaan yang sejati tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang kita miliki, tetapi sejauh mana kita mampu menyerahkan apa yang kita miliki demi menjalankan perintah-Nya. Keikhlasan, pengorbanan, dan empati sosial adalah ukuran sebenarnya dari kualitas keberagamaan kita.

Oleh sebab itu, marilah kita jaga kemurnian ibadah kurban dan haji dengan selalu mengukuhkan niat, menguatkan keimanan, serta meningkatkan kepedulian terhadap sesama. 

Semoga Idul Adha kali ini tidak hanya menjadi perayaan seremonial, tetapi juga momentum untuk memperdalam pemahaman spiritual kita sebagai hamba-Nya. (*)

***

*) Oleh : Hidayat Nor Wahit, Mahasiswa UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.