TIMES JEMBER – Dosen fikih dan ushul fikih dari UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember, Muhammad Fauzinudin Faiz, tengah menjalankan riset intensif mengenai mitigasi fikih dan otoritas fatwa di masa pandemi.
Riset yang dilakukan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor bidang Hubungan dan Kerjasama Internasional ini melalui dua program fellowship bergengsi di Turki dan Maroko.
Faiz berpartisipasi dalam Istanbul Sharia & Social Development Fellowship (ISSDF) di Universitas Istanbul serta Maghreb Islamic Jurisprudence & Social Development Fellowship (MIJSF) di Universitas Al Quaraouiyine.
Kedua fellowship ini adalah bagian dari upaya global untuk mendalami peran agama dalam tanggapan terhadap krisis kesehatan.
Sebagai Peneliti Tamu (Visiting Researcher) dalam Program Fellowship 2024 ini, Faiz tak hanya berfokus pada penelitian tetapi juga terlibat dalam publikasi akademik mengenai mitigasi fikih di negara-negara mayoritas Muslim.
Melalui perannya ini, Faiz memiliki kesempatan luas untuk berbagi hasil risetnya sekaligus memperluas jejaring akademis dalam bidang fikih dan kajian Islam kontemporer.
Penelitian ini, menurut Faiz, diharapkan menjadi kontribusi penting dalam memahami adaptasi fikih di masa krisis yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dan kesehatan publik.
Dalam penelitiannya, Faiz menyoroti perbedaan pendekatan antara Indonesia, Turki, dan Maroko dalam menerapkan fatwa dan mitigasi fikih selama pandemi COVID-19.
Di Indonesia, dengan pluralitas lembaga keagamaan seperti MUI, NU dan Muhammadiyah, masyarakat menerima beragam panduan terkait praktik ibadah di masa pandemi.
Ragam panduan ini, meski memberikan fleksibilitas, juga menyebabkan variasi dalam penerapannya.
Menurutnya, masyarakat cenderung mengikuti panduan dari lembaga yang lebih dekat dengan afiliasi keagamaan mereka, baik itu MUI, NU, maupun Muhammadiyah, khususnya dalam praktik salat berjamaah dan pengaturan tempat ibadah.
Di Turki, Faiz mendalami bagaimana Diyanet, lembaga tunggal yang mengelola otoritas agama di bawah naungan pemerintah, menjalankan kebijakan seragam dalam mitigasi fikih.
Diyanet yang berfungsi langsung di bawah kendali negara, menerbitkan fatwa dan panduan keagamaan yang diterapkan dengan disiplin di seluruh wilayah Turki.
Kebijakan sentral ini memungkinkan penerapan langkah-langkah mitigasi yang konsisten, sehingga masyarakat dapat mengikuti arahan yang jelas dan terpadu, baik dalam konteks keagamaan maupun kesehatan.
Berbeda dengan Turki, Maroko memiliki struktur otoritas agama yang berada di bawah Raja sebagai Amir al-Mu'minin.
Menurut catatan Faiz, otoritas agama di Maroko, yang dipegang langsung oleh Raja, memungkinkan kebijakan mitigasi fikih diintegrasikan secara erat dengan kebijakan negara.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama mendapat legitimasi penuh dari Raja, menjadikannya panduan yang diikuti masyarakat dengan kepatuhan tinggi.
Sistem ini, kata Faiz, membuat otoritas keagamaan dan kesehatan publik berjalan seiring dan efektif dalam menghadapi krisis.
Faiz menyampaikan harapannya agar hasil riset ini dapat memberikan perspektif baru dalam pengelolaan krisis kesehatan di negara-negara Muslim.
Dengan menelusuri praktik kebijakan di berbagai negara, ia berupaya menyumbangkan gagasan bagi Indonesia terkait bagaimana kebijakan kesehatan publik dapat disinergikan dengan prinsip-prinsip agama.
"Penelitian ini diharapkan mampu menjembatani pendekatan agama dan kesehatan dalam kebijakan publik, khususnya di masa-masa krisis," ungkapnya, Kamis (31/10/2024).
Dalam program ini, Faiz ditemani oleh Muhammad Taufiq Ahaz, dosen dari IAIN Madura yang juga berpartisipasi dalam riset tentang mitigasi fikih dan otoritas fatwa.
Taufiq, yang juga menjabat sebagai Pengurus PW Ansor Bidang Mutu Pendidikan, turut memperkuat perspektif penelitian dengan pendekatan multidisipliner.
Kolaborasi mereka dalam meneliti dinamika fatwa di Indonesia, Turki, dan Maroko memberikan kajian komprehensif mengenai bagaimana integrasi agama dan kebijakan kesehatan dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Di Turki, Taufiq Ahaz mengamati pendekatan Diyanet yang sangat mendukung protokol kesehatan melalui fatwa yang mengedepankan hifd al-nafs (perlindungan jiwa).
Pandangan ini, lanjutnya, sejalan dengan prinsip-prinsip fikih yang memprioritaskan keselamatan masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan Turki menerapkan kebijakan kesehatan tanpa konflik dengan nilai keagamaan, menunjukkan bagaimana agama dan negara dapat saling mendukung dalam menghadapi tantangan krisis.
Sebagai bagian dari program fellowship ini, hasil penelitian Faiz dan Taufiq direncanakan untuk diterbitkan dalam jurnal akademik internasional.
Publikasi ini diharapkan dapat menjadi referensi penting dalam studi fikih, kebijakan agama, dan respons krisis di negara-negara Muslim.
Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat posisi akademisi Indonesia di kancah internasional, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam kajian Islam kontemporer yang relevan dengan tantangan global saat ini.(*)
Pewarta | : Moh Bahri |
Editor | : Yatimul Ainun |