TIMES JEMBER, JEMBER – Ketika seseorang dalam akalnya terlintas bahwa "tindakan seseorang merupakan manifestasi dari apa yang ia pikirkan", barangkali pikiran tersebut akan turut disertai dengan sosok figur progresif yang namanya tidak akan lekang dimakan zaman. Sosok tersebut ialah KH. Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, ia merupakan putra dari KH. Abdul Wahid Hasyim (pahlawan nasional), Mentri Negara dan pernah juga Mentri Agama, di era Presiden Soekarno.
Gus Dur adalah tokoh kharismatik dan pemikir Islam moderat yang pernah diamanahi sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) keempat. Massa bakti Gus Dur terhitung singkat, dari tahun 1999 hingga 2001. Sebagai ketua Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, Gus Dur dikenal karena pendekatannya yang inklusif terhadap berbagai lapisan masyarakat dan keyakinannya pada pluralisme.
Selain karir politik dan aktivis sosial-keagaamaan, Gus Dur dikenal sebagai intelektual dan penulis. Kecintaannya pada seni dan kebudayaan, menciptakan kesan yang mendalam dalam sejarah Indonesia. Setelah meninggal pada 30 Desember 2009, warisannya tetap hidup sebagai pemimpin yang gigih memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan harmoni di tengah keragaman.
Gus Dur Pemburu Ilmu Pengetahuan.
Mulanya, pendidikan formal Gus Dur diawali dari Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Pesantren Tebuireng menjadi pusat pendidikan tradisional yang memainkan peran penting dalam pembentukan spiritual dan intelektualnya.
Di Tebuireng ia mendalami ajaran Islam secara tradisional dan memperoleh pemahaman mendalam tentang keagamaan. Diusia yang cukup muda, Gus Dur banyak menjajaki perguruan tinggi ternama diluar negri. Karena kerakusannya terhadap ilmu, ia terbang untuk berkuliah di Kairo, Mesir. Baghdad, Irak, hingga ke India.
Dari pengalaman belajar di luar negeri, ia memiliki perspektif yang lebih luas terhadap dinamika Islam dan hubungan antar bangsa. Selain menggali hikmah dari tradisi keagamaan, pembacaan intensnya menciptakan pengetahuan yang mendalam untuk menanggapi isu-isu sosial, politik dan agama.
Bukan hanya terkenal seorang pembaca, tetapi Gus Dur juga seorang pemikir, ia melihat literatur sebagai jendela dunia yang kompleks dan beragam. Gus Dur terkonfirmasi gemar membaca karya-karya Karl Marx, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, atau buku karya ilmuan politik Amerika, Samuel P. Huntington. Ketertarikannya pada pemikiran Marx dan Arkoun, mencerminkan keinginannya untuk memahami dinamika sosial dan ekonomi dari prespektif lain.
Meskipun ia seorang muslim yang taat, ia senantiasa terbuka terhadap berbagai aliran pemikiran untuk merancang pendekatan inklusif dalam menanggapi tantangan sosial dan politik. Kesukaannya pada literatur mencerminkan kedalaman pikirannya yang melampaui ranah keagamaan dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Maka tidak heran jika gelar cendekiawan muslim kerap disematkan pada dirinya ketika mengisi seminar-seminar nasional.
Gus Dur memiliki pandangan yang sangat positif terkait belajar, ia menekankan pentingnya pendidikan dan pengetahuan, dalam membentuk pemikiran yang kritis dan penuh pengertian. Salah satu ungkapannya yang masyhur adalah, "Belajarlah dengan niat yang tulus, bukan hanya untuk mencapai gelar, tetapi untuk memperkaya hati dan jiwa dengan pengetahuan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat." Ungkapan itu mencerminkan Gus Dur akan nilai intrinsik belajar, dan pentingnya menggunakan pengetahuan untuk berkontribusi positif dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Gus Dur Pejuang Demokari, HAM dan Pluralisme.
Di era Seoharto yang kerap disebut Orde Baru (orba), Gus Dur menjadi sosok yang sangat getol mengkritisi rezim otoriter tersebut. Ia rajin melontarkan kritik-kritik tajam nan akurat terhadap pelbagai pelanggaran-planggaran HAM, dan ketidakadilan sosial yang dilakukan rezim itu.
Menurut Gus Dur, otoritarianisme Soeharto dilakukan terhadap hal yang paling fundamen dalam berdemokrasi, yaitu memenjarakan berpendapat. Gus Dur berprinsip, "Kebebasan itu seperti udara bagi manusia. Jika dibatasi, hidup pun terasa sesak. Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah hak setiap warga negara yang harus dihormati." Pada konteks ini Gus Dur menekankan bahwa kebebasan sipil dalam suatu negara sangatlah penting, demi terwujudnya iklim bernegara yang baik dan sehat.
Di era Soeharto, Gus Dur juga melihat terjadinya disparitas ekonomi yang cukup signifikan antara masyarakat kota dan desa. Dalam kaca mata Gus Dur, kebijakan ekonomi orba banyak merugikan rakyat kecil. Menurut Gus Dur, "Ketidaksetaraan ekonomi adalah sumber ketidak adilan. Kita perlu merancang kebijakan yang mengedepankan kesejahteraan rakyat, bukan hanya sebagian kecil golongan tertentu."
Bahkan Gus Dur juga mengkritik praktek korupsi yang melibatkan para oligarki di era Soeharto itu. Ia menilai bahwa korupsi adalah racun bagi pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Pada banyak kesempatan, Gus Dur menekankan perlunya pemberantasan korupsi sebagai langkah penting, dalam menjaga keadilan sosial dan memastikan alokasi sumber daya yang adil untuk kesejahteraan masyarakat di desa-desa.
Kritik-kritik tajam Gus Dur telah secara eksplisit memperhatikan moralitas dan etika dalam tata kelola pemerintahan, kepedulian Gus Dur terhadap keadilan sosial dan keinginannya untuk melihat kebijakan ekonomi, yang mendukung kesejahteraan di seluruh lapisan masyarakat, bukan justru kebijakan yang hanya dirasakan oleh segelintir orang atau kelompok.
Tidak hanya itu, sepanjang perjalanan hidup Gus Dur juga merupakan aktivis sosial-keagamaan yang gigih membela nilai keislaman universal. Ketika muncul kecenderungan untuk menjadikan agama dalam posisi suplementer atau agama sekedar menjadi alat legitimasi terhadap pembangunan atau menjadikannya sebagai ideologi alternatif, Gus Dur menentangnya dengan mengcounter narasi tersebut dengan gagasannya tentang agama sebagai faktor komplementer dalam kehidupan.
Berbagai perjuangan-perjuang Gus Dur ini tidak hanya diakui ditingkat nasional, melainkan internasian. Pada 31 agustus 1993, Gus Dur menerima penghargaan magsaysay, "nobel asia" dari pemerintah Filipina, penghargaan diberikan karena Gus Dur dinilai mempunyai komitmen dan peranan yang sangat penting terhadap demokrasi, penegakan HAM dan toleransi beragama di Indonesia.
Ketika Gus Dur Jadi Pemimpin.
Sebagai Ketum PBNU.
Tahun 1980, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum (ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menggantikan ayahnya, KH. A. Hasyim Wahid. Di bawah kepemimpinannya, NU mengalami transformasi besar-besaran, Gus Dur membawa NU keluar dari domain yang bersifat konservatif dan menjadikannya sebagai kekuatan progresif.
Salah satu gagasan yang Gus Dur usung ialah konsep "Islam Nusantara". Ia mengusung gagasan itu dengan pengertian, bahwasannya Islam yang berkembang di Indonesia harus bersinergi dengan nilai-nilai lokal dan budaya. Menurut Gus Dur Islam harus dipahami dalam konteks budaya lokal dan harmonis, dengan tradisi-tradisi keberagaman yang ada.
Bingkai Islam Nusantara yang dipromosikan oleh Gus Dur, menekankan pada wawasan Islam yang inklusif dan toleran, menjaga keselarasan antara nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal, sehingga terbentuklah Islam yang ramah, damai, dan dapat bersinergi dengan masyarakat multikultural seperti di Indonesia, karena konsep ini menghargai keragaman budaya, adat istiadat, dan keyakinan keagamaan Nusantara.
Gus Dur berjuang keras untuk menghadirkan wawasan Islam yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Ia mendukung pendekatan keagamaan yang terbuka terhadap perubahan, sambil tetap mencengkram nilai-nilai keislaman salaf. Selain itu, ia selalu berusaha menjembatani divisi dan perpecahan di dalam masyarakat dengan merangkul keberagaman, baik dalam hal suku, budaya, maupun pemahaman agama itu sendiri.
Gus Dur juga mempromosikan dialog antar-agama sebagai bejana untuk memahami perbedaan dan membangun kerukunan. Melalui pendekatan ini, Islam Nusantara diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam memperkuat persatuan dan kerjasama di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam.
Indonesia merupakan negara majemuk, terutama dalam hal agama dan budaya. Dalam satu agama itu sendiri, memiliki banyak pandangan dan aliran, sehingga sikap tidak toleran adalah ancaman bagi agama dan bangsa Indonesia, baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang.
Gus Dur telah merintis, mewariskan dan mencontohkan kepada bangsa ini bagaimana sikap toleran dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Gus Dur telah meletakkan batu pondasi kemajemukan beragama dan budaya yang dapat dijadikan jembatan komunikasi dan kerjasama antar agama dan kelompok budaya untuk menjadikan entitas keduanya menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Dengan ide-ide dan perjuangannya ini, Gus Dur memberikan legacy yang penting dalam sejarah PBNU, menciptakan landasan bagi pemahaman Islam yang inklusif, toleran, dan berdaya adaptasi di Nusantara.
Sebagai Presiden RI
Seusainya diorama reformasi, pada 20 Oktober 1999, MPR berkumpul untuk memilih presiden baru. Kemudian Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI dengan perolehan suara 373, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Kepemimpinannya penuh dengan tantangan, termasuk konflik internal dan kontroversi terkait kebijakan-kebijakan tertentu. Namun, ia tetap konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan keadilan sosial.
Meski harus menghadapi tekanan politik (impeachment), dan akhirnya dipaksa harus mengundurkan diri pada tahun 2001, warisan pemikiran dan perjuangan Gus Dur terus mempengaruhi arah politik dan sosial Indonesia.
Gus Dur merupakan sosok pemimpin yang asketik dan sangat kredibel. Pada hakekatnya Gus Dur dapat melampaui godaan kekuasaan. Ia memang pernah berkuasa sebagai Presiden RI, tetapi kekuasaan itu bukan untuk "pragmatisme" kekuasaan yang hanya ia peruntukkan dirinya, keluarganya atau korpsnya saja. Kekuasaan bagi Gus Dur juga bukan soal status sosial. Sehingga ketika Gus Dur dipaksa mundur dari kekuasaan itu, ia tidak mengalami goncangan dan dengan mudah bisa kembali fokus pada nilai-nilai yang ia ingin perjuangkan.
Kekuasaan Gus Dur raih, untuk mempermudah perjuangan-perjuangannya, untuk menyalurkan idenya, dan semurni-murni pengabdian. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, ia memelopori penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dengan mengeluarkan Inpres No 6/2000 tanggal 17 januari 2000, dan mencabut inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Gus Dur menilai inpres 14/1967 sebagai instrumen represif yang merugikan kebebasan berpendapat dan berserikat. Dengan mencabut kebijakan itu, ia berusaha mengembalikan hak masyarakat Tionghoa untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik tanpa takut represi.
Gus Dur juga mengeluarkan keputusan Presiden (keppres) no.38/2000 yang menonaktifkan keppres no 19/1998 tentang bakorstanas dan keppres no 16/1990 tentang litsus, yang kedua lembaga ini dinilai banyak menimbulkan permasalahan dari pada kemanfaatannya, yang jelas-jelas merugikan hak asasi manusia.
Bahkan ekstrimnya lagi, Gus Dur meminta maaf kepada keluarga para korban pembantaian massal 1965-1966, dan ia mengusulkan pencabutan TAP MPRS No.XXV/1966 yang menyatakan bahwa PKI dan ormas-ormasnya adalah organisasi terlarang di Indonesia. Itu semua ia lakukan sebagai bagian dari komitmennya terhadap prinsip demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Gus Dur merasa, perlu untuk merestorasi kebebasan berpendapat dan beragama yang dianggap terbatas oleh kebijakan tersebut. TAP MPRS No.XXV/1966 yang dikeluarkan Orba, digunakan untuk menindak keras kelompok komunis dan dianggap oleh Gus Dur sebagai ancaman terhadap hak-hak individu. Dengan cara mencabut keputusan itu, Gus Dur berupaya membangun suasana demokratis yang inklusif dan menghormati hak-hak dasar warga negara.
Lagi-lagi keputusan tersebut mencerminkan visi Gus Dur untuk memperkuat toleransi beragama dan pluralisme di Indonesia, serta menghapus praktik kriminalisasi terhadap aktivitas politik, karena hanya dengan langkah tersebut masyarakat Indonesia dapat lebih terbuka dan menghargai kebebasan berserikat serta berpendapat.
Sudah Waktunya Kembali Memperjuangkan Ide-ide Gus Dur
Di zaman yang serba ber-evolusi ini, keberanian, kenyelenehan dan kredibilitas seorang "pemimpin" terasa sukar untuk kembali kita jumpai. Padahal tidak sedikit manusia di Indonesia yang mendeclare dirinya sebagai pengikut atau bahkan berisme-ismekan Gus Dur.
Gus Dur adalah tokoh yang hampir diterima oleh semua kelompok, dibuktikan ketika beliau wafat, banyak tokoh agama lain merasa kehilangan dan turut mendoakan kepergian Gus Dur. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa Gus Dur cukup dekat dengan mereka, ditambah Gus Dur memanifestasikan pikirannya terkait anti ekslusivisme.
Kebesaran nama Gus Dur, dalam sejarah politik dan gerakan sosial di Indonesia, bukan hanya teladan bagaimana menjadi pemimpin politik, tetapi juga bagaimana menjadi pemimpin sosial dengan fokus perjuangannya yang memiliki dimensi keabadian, yaitu perjuangan atau dakwah mewujudkan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Maka tidak heran jikalau ia diakui sebagai bapak bangsa yang telah banyak menorehkan gagasan-gagasan demokrasi, pluralisme, HAM, toleransi dan lain sebagainya.
Menjadi pejuang kemanusiaan ditengah-tengah kondisi masyarakat yang serba dekaden dan krisis kepercayaan terhadap pemimpin tentu tidak mudah. Waktu itu, Gus Dur bukan hanya berhadap-hadapan dengan pemimpin pro status quo dan kelas preman, tetapi juga berhadapan dengan kaum fundamentalis agama dan pasar. Namun Gus Dur tetap menjadi pejuang sejati, ia terus berjuang mewujudkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan sampai akhir hayatnya, kerena menjadi pejuang kemanusiaan adalah jalan dan panggilan hidupnya.
Menghidupkan kembali pikiran dan perjuangan Gus Dur memiliki signifikansi besar dalam konteks pembangunan sosial dan politik Indonesia. Gus Dur adalah tokoh yang dikenal karena visinya yang inklusif, toleran, dan demokratis. Kontribusinya terbesarnya adalah membawa semangat pluralisme dan kebebasan berpikir ke panggung nasional.
Pertama-tama, pikiran Gus Dur mengusung gagasan tentang Indonesia yang menjunjung tinggi keragaman budaya, agama, dan suku. Beliau menekankan pentingnya menjaga harmoni antar beragam lapisan masyarakat untuk membangun negara yang kuat dan stabil. Revitalisasi pemikiran ini menjadi penting karena mampu memberikan arah positif bagi upaya memecahkan konflik antar kelompok dan memperkuat kesatuan nasional.
Memahami dan menghidupkan kembali pemikiran serta perjuangan Gus Dur memberikan inspirasi bagi generasi sekarang untuk melanjutkan semangat inklusivitas, toleransi, dan kebebasan berpendapat. Revitalisasi nilai-nilai ini dapat menjadi katalisator untuk mengatasi tantangan kontemporer, seperti polarisasi sosial, intoleransi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Gus Dur membangun fondasi bagi negara yang menganut prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bagi semua warganya. Oleh karena itu, menghidupkan kembali pemikiran dan perjuangan Gus Dur bukan hanya nostalgia sejarah, tetapi juga investasi untuk masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.
Mengutip istilah Muhammad Al-Fayyadl, alias Gus Fayyad, dalam tulisannya yang bertajuk "Gus Dur sebagai Kata Kerja", meletakkan Gus Dur kata sifat, itu artinya menyematkan suatu identifikasi dari dengan Gus Dur sebagai sumber nostalgia dan ingatan. Gus Dur nampaknya tidak cocok untuk sekedar menjadi kata sifat, karena Gus Dur adalah pelaku, subjek, yang sepanjang hidupnya bergulat dengan laku, dengan tindakan dan aksi. Sebagai pelaku Gus Dur dikenal luas karena keberpihakannya yang konsisten atas kelompok termarjinalkan.
***
*) Oleh : Bagaskara Dwy Pamungkas, Kabiro Advokasi, HAM, Riset dan Lingkungan Hidup PC PMII Jember
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |