TIMES JEMBER, JEMBER – Transparency International (TI) pada paruh pertama 2025 kembali merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024. Indonesia hanya memperoleh skor 37 dari 100. Memang ada kenaikan dari tahun 2023 yang hanya 34 poin, tapi posisi kita masih di peringkat 99 dari 180 negara. Ibarat nilai ujian, skor ini tidak lebih dari angka pas-pasan yang masih jauh dari layak dibanggakan.
Sementara itu, negara tetangga melaju jauh di depan. Singapura duduk nyaman di posisi ketiga dunia dengan skor 94. Malaysia berada di skor 57, bahkan Timor Leste yang dulu pernah jadi provinsi Indonesia mampu mencatat skor 44. Vietnam pun menyalip dengan 40. Indonesia? Hanya bisa merasa sedikit lega karena belum terjerembab sedalam Myanmar di posisi buncit ASEAN dengan skor 16.
Banyak yang berpikir, Pancasila diuji hanya oleh ancaman ideologi asing. Padahal, ujian terberat justru datang dari dalam: korupsi, ketidakadilan, judi online, hingga budaya hedonisme.
Inilah musuh-musuh yang tak bisa ditumpas dengan jurus “Hadouken” atau “Kamehameha” ala Son Goku. Ini adalah ujian moral dan mental, pertarungan yang menentukan apakah Pancasila benar-benar hidup dalam praktik atau hanya jadi retorika kosong.
Jika ditilik dari filsafat Aristoteles, Pancasila mestinya berfungsi sebagai jalan menuju eudaimonia kebahagiaan sejati yang lahir dari kebajikan. Tapi dalam praktiknya, Pancasila lebih sering tampil seperti tokoh anime yang mengaku sudah “level maksimal” tapi tetap kalah KO di medan pertarungan.
Korupsi sebagai Distopia
Korupsi adalah cermin distopia paling nyata di negeri ini. Ia selalu ada, seperti pemain lama sinetron politik yang tak pernah pensiun. Kasus demi kasus mencuat, operasi tangkap tangan (OTT) bergulir, tetapi tak pernah ada episode berjudul “Akhir dari Korupsi”.
Kita hidup dalam paradoks. Di satu sisi, KPK pernah dielu-elukan sebagai “super body”, namun kini taringnya dianggap tumpul. Di sisi lain, masyarakat hanya bisa menonton lakon berulang, ibarat lagu Tikus-tikus Kantor Iwan Fals: rakus, tak pernah kenyang, dan selalu lolos dari jeratan hukum ketika “kucing” datang.
Inilah wajah distopia kita: negara yang berdiri atas nama Pancasila, tapi kesehariannya dipenuhi praktik yang menggerogoti dasar moralnya.
Singapura berhasil membuktikan bahwa korupsi bisa ditekan hingga level nyaris nol. Malaysia, bahkan dengan segala carut marut politiknya, punya inisiatif lebih maju: memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah dan universitas. Ini langkah penting, karena melawan korupsi bukan hanya soal penindakan, tetapi juga pembentukan kesadaran sejak dini.
Indonesia masih tertinggal jauh. Kesadaran publik memang tumbuh, tetapi gerakan antikorupsi belum pernah mencapai titik kritis yang mampu benar-benar mengguncang status quo.
Pertanyaan mendasar: mungkinkah korupsi diberantas tanpa keterlibatan langsung rakyat? Banyak yang berpendapat, gerakan perlawanan sipil (civil disobedience) bisa menjadi jalan.
Bukan dalam bentuk kekerasan, melainkan konsolidasi moral: penolakan sistematis terhadap praktik suap, advokasi publik yang masif, hingga keberanian menolak menjadi bagian dari lingkaran korupsi kecil-kecilan sehari-hari.
Kalangan intelektual dan media massa punya peran vital. Mereka bisa menjadi penggerak kesadaran, sebagaimana pernah dilakukan pada masa perjuangan kemerdekaan. Namun, jika gerakan ini hanya berhenti pada jargon, maka korupsi akan tetap menjadi legenda kelam yang diwariskan lintas generasi.
Menolak Hidup dalam Distopia
Distopia dalam fiksi selalu digambarkan sebagai dunia tanpa harapan, penuh ketidakadilan, dan kehilangan nilai kemanusiaan. Ironisnya, realitas korupsi di Indonesia semakin menyerupai gambaran itu. Kita memang belum sampai di titik paling gelap seperti Somalia atau Venezuela, tapi apakah itu cukup untuk membuat kita puas?
Korupsi harus dilihat bukan hanya sebagai kejahatan hukum, melainkan pengkhianatan terhadap Pancasila. Selama praktik ini dianggap normal, maka Pancasila hanya akan menjadi “senjata tumpul” yang tidak pernah membela rakyatnya.
Maka, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan lagi “apakah korupsi bisa diberantas?”, melainkan “apakah kita masih mau terus hidup dalam distopia korupsi ini?”. (*)
***
*) Oleh : Dr. Sidi Alkahfi Setiawan, S.H., M.H., C.SC., C.ELA., C.MSP., Dosen Pascasarjana Hukum Universitas Islam Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Distopia Negeri Para Koruptor
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |