https://jember.times.co.id/
Opini

Bendera One Piece dalam Perspektif Fiqh Daulah

Sabtu, 09 Agustus 2025 - 08:54
Bendera One Piece dalam Perspektif Fiqh Daulah Hasbi Ash Shiddiqi, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nurul Qarnain Jember.

TIMES JEMBER, JEMBER – Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, fenomena unik namun mengundang kontroversi terjadi di berbagai daerah: berkibarnya bendera bajak laut fiksi dari serial One Piece, lengkap dengan simbol tengkorak dan tulang bersilang, di tempat-tempat publik dan lingkungan pemuda. 

Fenomena ini menimbulkan reaksi beragam, mulai dari candaan populer di media sosial hingga kekhawatiran serius dari tokoh masyarakat, pendidik, dan bahkan aparat pemerintah lokal.

Secara kasat mata, fenomena ini mungkin dianggap sebagai ekspresi budaya populer generasi muda yang sedang menggandrungi anime Jepang, terutama One Piece yang memang memiliki pengaruh global. 

Namun dalam perspektif fiqh daulah atau fikih ketatanegaraan Islam, tindakan ini tidak bisa serta-merta dianggap sebagai ekspresi netral. Ada nilai, simbol, dan prinsip yang perlu dianalisis lebih dalam dalam konteks hubungan antara warganegara, simbol-simbol kedaulatan, dan tanggung jawab syar’i terhadap negara tempat tinggalnya.

Budaya Populer dan Krisis Identitas Simbolik

Fenomena berkibarnya bendera Jolly Roger (simbol bajak laut) dari anime One Piece dalam perayaan HUT RI dapat dibaca sebagai bentuk ekspresi generasi muda yang semakin teralienasi dari simbol-simbol nasionalisme tradisional. 

Jika dulu bendera merah putih dikibarkan dengan penuh semangat, kini simbol-simbol fiksi yang berasal dari budaya asing lebih menarik bagi sebagian anak muda. Ini mencerminkan adanya krisis identitas simbolik di tengah masyarakat ketika simbol nasional mulai kehilangan daya magnetik di tengah serbuan simbol global yang bersifat pop dan digital.

Padahal dalam perspektif fiqh daulah, negara adalah entitas syar’i yang harus dihormati, dan segala simbol-simbol kedaulatan termasuk bendera adalah representasi dari marwah (izzah) dan kedaulatan umat. 

Maka melecehkan, mengganti, atau bahkan menyandingkan bendera negara dengan simbol-simbol tidak relevan secara nasional dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menyalahi adab dan loyalitas terhadap negara (wala’).

Fiqh Daulah: Loyalitas, Ketaatan, dan Simbol Kedaulatan

Dalam khazanah fiqh daulah, ulama seperti Imam al-Mawardi dan Ibn Taymiyyah mengajukan prinsip-prinsip dasar dalam hubungan antara rakyat dan negara. Salah satu prinsip penting adalah itha’ah (ketaatan) dan wala’ (loyalitas) kepada otoritas yang sah, selama tidak melanggar syariat. 

Dalam konteks negara-bangsa modern seperti Indonesia, meskipun bentuknya bukan khilafah, selama negara menjamin keamanan, keadilan, dan kebebasan beragama, maka loyalitas terhadapnya menjadi bagian dari tanggung jawab syar’i warga negara Muslim.

Simbol negara, seperti bendera merah putih, bukan hanya representasi warna, tetapi simbol legalitas, sejarah perjuangan, dan identitas nasional. Menggantikannya atau menyandingkannya dengan simbol lain, terutama yang berasal dari budaya fiktif atau bahkan simbol yang berkonotasi anarkis (seperti bajak laut) dapat dikategorikan sebagai bentuk taḥqir (pelecehan) terhadap simbol kedaulatan. 

Dalam hukum Islam, pelecehan terhadap simbol otoritas yang sah dapat dikategorikan sebagai mukhalafah (pelanggaran) terhadap prinsip amr bil ma’ruf nahi ‘anil munkar.

Lebih jauh, dalam konteks maqaṣid al-syariah, negara adalah instrumen untuk menjaga lima tujuan pokok syariat, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Negara yang sah harus didukung keberadaannya, termasuk melalui penghormatan terhadap simbol-simbolnya, demi menjaga kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah).

Fenomena ini juga mencerminkan adanya kesenjangan serius dalam pendidikan karakter dan kewarganegaraan. Pendidikan yang terlalu berorientasi pada aspek kognitif dan minim internalisasi nilai menyebabkan peserta didik tidak memahami makna simbol kebangsaan secara mendalam. 

Mereka hanya melihat bendera sebagai formalitas, bukan identitas. Maka, tidak mengherankan jika mereka lebih tertarik mengibarkan bendera One Piece yang menurut mereka “lebih keren” atau “lebih viral”.

Di sinilah pentingnya integrasi pendidikan agama dengan pendidikan kewarganegaraan. Dalam Islam, cinta tanah air bukan hanya ekspresi emosional, tetapi bagian dari tanggung jawab moral. Nabi Muhammad SAW sendiri menunjukkan rasa cinta yang dalam terhadap tanah kelahirannya, Makkah, bahkan ketika beliau harus hijrah ke Madinah. 

Dalam konteks ini, mengajarkan fiqh daulah sejak dini akan membantu generasi muda memahami urgensi menghormati negara sebagai bagian dari implementasi iman dan etika Islami.

Antara Kebebasan Ekspresi dan Pembatasan Etika

Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa pengibaran bendera One Piece adalah bentuk kebebasan berekspresi. Dalam negara demokratis, kebebasan ekspresi dijamin oleh konstitusi. Namun, kebebasan bukan tanpa batas. Dalam perspektif Islam, kebebasan dibatasi oleh prinsip adab dan maslahah. 

Jika ekspresi kebebasan justru merusak nilai, norma, atau mengundang keresahan publik, maka ia bukan lagi kebebasan yang syar’i, melainkan fawḍawiyyah (anarkisme).

Mengibarkan bendera fiksi dalam momen sakral seperti HUT Kemerdekaan adalah bentuk tahawwun (sikap meremehkan) terhadap momen perjuangan. Ini bukan hanya soal estetika, melainkan tentang sensitivitas terhadap sejarah, perjuangan, dan pengorbanan para pahlawan.

Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak pendidik, orang tua, tokoh agama, dan negara untuk menguatkan kembali literasi simbol kebangsaan dan pentingnya fiqh kewarganegaraan. 

Umat Islam di Indonesia perlu diberikan pemahaman bahwa cinta tanah air dan penghormatan terhadap negara bukanlah sekularisme, tetapi bagian dari kesalehan sosial yang berakar dari ajaran Islam.

Madrasah, pesantren, dan sekolah-sekolah perlu mengintegrasikan fiqh daulah dalam kurikulum, agar peserta didik tidak hanya paham tentang fiqh ibadah, tetapi juga fiqh sosial-politik dalam bingkai negara-bangsa. 

Hal ini penting agar tidak terjadi lagi kesalahan ekspresi simbolik yang bisa menyinggung rasa nasionalisme atau bahkan menimbulkan potensi disintegrasi.

Mengibarkan bendera One Piece sebagai bagian dari perayaan kemerdekaan adalah cermin dari krisis simbolik, lemahnya literasi kebangsaan, dan kurangnya pemahaman tentang fiqh daulah dalam masyarakat Muslim Indonesia. 

Islam tidak menolak budaya populer, namun menempatkan batas-batas etis terhadap apa yang pantas dan tidak pantas, terutama dalam konteks publik dan kenegaraan.

Sudah saatnya negara, ormas Islam, dan lembaga pendidikan membangun kembali narasi kolektif tentang pentingnya simbol, loyalitas terhadap negara, dan integrasi nilai keislaman dengan kecintaan terhadap tanah air. Sebab, menjaga simbol negara adalah bagian dari menjaga peradaban, dan menghormati perjuangan adalah bagian dari iman.

***

*) Oleh : Hasbi Ash Shiddiqi, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nurul Qarnain Jember.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.