https://jember.times.co.id/
Opini

Kesejahteraan Masyarakat Jember Terabaikan

Senin, 15 September 2025 - 16:33
Kesejahteraan Masyarakat Jember Terabaikan Nor Kamilah, Ketua 2 Advokasi & Gerakan Kopri Jember.

TIMES JEMBER, JEMBER – Kabupaten Jember adalah sebuah daerah yang sejak lama dikenal dengan kekayaan alamnya. Dari hamparan sawah yang luas, kebun kopi di Panti, tembakau di Ajung dan Kalisat, hingga lautan lepas di Ambulu dan Puger, semua menyimpan potensi yang jika dikelola dengan baik akan mampu mengangkat harkat hidup masyarakat.

Tidak sedikit yang menyebut Jember sebagai “miniatur Indonesia” karena hampir semua sektor ada di sini: pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, hingga industri kecil menengah. Namun sayangnya, kekayaan yang besar itu masih belum mampu menjawab tantangan kesejahteraan. Jember justru masih menyandang predikat sebagai daerah dengan angka kemiskinan tertinggi kedua di Jawa Timur. 

Data terbaru menyebutkan sekitar 224,77 ribu warga Jember hidup di bawah garis kemiskinan. Pertumbuhan ekonominya pun masih lebih rendah dibandingkan rata-rata provinsi. Inilah paradoks besar: potensi berlimpah, tetapi rakyat masih berkekurangan.

Jika kita menengok lebih dalam, wajah buruh di Jember menjadi gambaran jelas betapa kesejahteraan masih jauh dari kata terwujud. Buruh yang bekerja di perkebunan, pabrik, maupun sektor informal, sejatinya adalah penggerak roda ekonomi. 

Namun, banyak di antara mereka yang tidak memperoleh hak normatif sebagaimana mestinya. Upah layak masih sulit diperoleh, fasilitas kerja sering kali jauh dari kata manusiawi, jaminan sosial tidak semua dinikmati, bahkan akomodasi dasar kadang diabaikan.

Di sisi lain, nasib petani tembakau juga tidak kalah memilukan. Tembakau sejak lama disebut sebagai daun emas Jember. Komoditas ini mengharumkan nama Jember hingga ke kancah internasional. 

Akan tetapi, emas itu ternyata tidak pernah benar-benar memuliakan para petani yang menggantungkan hidup padanya. Harga jual yang rendah, ketergantungan pada tengkulak, serta minimnya dukungan pemerintah menjadikan petani tembakau tetap berada dalam lingkaran klasik kemiskinan. 

Ironisnya, Jember sebenarnya telah memiliki Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengusahaan Tembakau. Regulasi ini dimaksudkan sebagai instrumen perlindungan bagi petani. Namun kenyataannya, perda tersebut kini dianggap mati suri. Ia tidak dijalankan dengan konsisten, tidak memberi kepastian harga, dan tidak benar-benar meningkatkan daya tawar petani. 

Akibatnya, meskipun Jember terkenal sebagai daerah penghasil tembakau unggulan, para petaninya tetap hidup dalam ketidakpastian. Jika perda yang sudah ada saja tidak dijalankan, bagaimana mungkin aspirasi petani bisa terwujud?

Sementara itu, sektor UMKM, yang semestinya bisa menjadi tumpuan harapan di tengah kondisi sulit, masih belum mendapat perhatian memadai. UMKM memiliki potensi besar untuk menjadi penyerap tenaga kerja, memperkuat pasar lokal, dan meningkatkan nilai tambah hasil bumi. 

Dengan angka pengangguran terbuka di Jember yang masih mencapai 3,23% atau sekitar 49 ribu jiwa, seharusnya UMKM bisa hadir sebagai jawaban nyata. Namun di lapangan, pelaku UMKM sering kali terbentur pada masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan: akses permodalan yang sulit, literasi digital yang rendah, serta lemahnya perlindungan hukum. 

UMKM memang tumbuh, tetapi tumbuh tanpa arah yang jelas. Mereka berjuang sendiri, dengan segala keterbatasan, sementara regulasi yang seharusnya melindungi belum kunjung lahir.

Jika kita rangkai tiga sektor ini buruh, petani tembakau, dan UMKM kita akan melihat betapa mereka saling terkait dan saling membutuhkan. Buruh membutuhkan kepastian upah, jaminan sosial, dan perlindungan hukum agar bisa bekerja dengan tenang dan hidup lebih layak. 

Petani tembakau butuh regulasi yang konsisten dijalankan agar hasil panen mereka dihargai secara adil dan tidak lagi dipermainkan oleh tengkulak. Sementara UMKM perlu diberdayakan agar bisa menyerap tenaga kerja baru sekaligus mengolah hasil pertanian dan perkebunan, termasuk tembakau, menjadi produk yang bernilai tambah tinggi.

Jika ketiga sektor ini diperkuat secara bersamaan, maka bukan hanya angka kemiskinan yang menurun, tetapi juga lahir kemandirian ekonomi yang kokoh di tingkat lokal. Bayangkan sebuah Jember di mana buruh tidak lagi harus berdemo untuk mendapatkan haknya, petani tembakau bisa hidup sejahtera dari hasil panennya, dan UMKM berkembang pesat dengan dukungan modal serta digitalisasi. Bukankah itu gambaran Jember yang kita impikan bersama?

Namun, semua harapan itu akan tetap tinggal harapan jika tidak ada keberanian politik untuk memperjuangkannya. Di sinilah peran DPRD Jember, khususnya Komisi B, sangat menentukan. DPRD memiliki tiga fungsi utama: membuat peraturan daerah, mengawasi pelaksanaannya, dan mengawal anggaran daerah. Tetapi pertanyaannya, apakah fungsi-fungsi itu sudah dijalankan dengan sungguh-sungguh? 

Perda tembakau dibiarkan mati suri, buruh masih dibiarkan menjerit di jalanan, dan UMKM belum juga mendapat payung hukum yang jelas. Jika DPRD hanya puas dengan keberadaan perda tanpa memastikan implementasinya, maka mereka sesungguhnya telah gagal menjalankan amanah rakyat.

DPRD seharusnya tidak berhenti pada seremonial sidang dan rapat paripurna. Kehadiran mereka seharusnya dirasakan dalam denyut kehidupan rakyat, dalam kerja keras buruh, dalam kebingungan petani, dan dalam perjuangan UMKM yang serba terbatas. 

DPRD harus berani mendorong evaluasi menyeluruh terhadap perda yang sudah ada, seperti perda tembakau, serta melahirkan perda baru yang benar-benar berpihak pada pelaku UMKM. Selain itu, DPRD juga harus tegas mengawasi pemerintah daerah agar memperluas program jaminan sosial bagi pekerja sektor formal maupun informal.

Jember tidak kekurangan potensi, yang kurang adalah keberanian politik untuk memperjuangkannya. Jember tidak butuh lagi janji-janji pembangunan yang hanya berhenti di baliho atau pidato resmi. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret: perlindungan tegas bagi buruh agar tidak lagi hidup dalam ketidakpastian, implementasi konsisten terhadap perda tembakau agar petani bisa hidup sejahtera, serta lahirnya perda UMKM yang progresif agar pelaku usaha kecil tidak lagi berjalan sendiri.

Kesejahteraan bukanlah retorika, melainkan hak setiap warga. Dan DPRD adalah pihak yang bertanggung jawab memastikan hak itu benar-benar hadir di tengah kehidupan rakyat Jember. Jika DPRD berani menjalankan fungsinya dengan konsisten, maka Jember bisa keluar dari lingkaran kemiskinan struktural yang selama ini membelenggunya. 

Jika DPRD tetap abai, maka kita hanya akan terus menyaksikan buruh yang dipinggirkan, petani yang dipermainkan, dan UMKM yang tertinggal. Pada akhirnya, pertanyaan sederhana akan selalu menghantui: untuk siapa sesungguhnya kekayaan Jember ini dikelola, jika bukan untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri?

***

*) Oleh : Nor Kamilah, Ketua 2 Advokasi & Gerakan Kopri Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.