https://jember.times.co.id/
Opini

Jenderal Soeharto Pahlawan?

Sabtu, 08 November 2025 - 13:10
Jenderal Soeharto Pahlawan? Dr. Tri Chandra Aprianto, Sejarawan Universitas Jember dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pertanian PBNU.

TIMES JEMBER, JEMBER – Opini awal, dan ini menjadi pemahaman umum, istilah pahlawan merujuk pada seorang pejuang yang gagah berani dalam memperjuangkan kemerdekaan suatu kaum atau bangsanya dari penindasan dan penjajahan dari bangsa lain. 

Secara umum pula, makna pahlawan mencakup orang yang rela berkorban demi kebaikan orang lain, baik dalam skala kecil ataupun besar. Kata pahlawan tidak melulu berarti tindakan melalui perjuangan perang, tapi juga perilaku seorang yang memiliki dampak luar biasa dan abadi terhadap perkembangan masyarakat, peradaban, atau ilmu pengetahuan. 

Termasuk dilihat dari kontribusinya yang bersifat universal dan memengaruhi banyak orang atau budaya di seluruh dunia, melampaui batas geografis atau waktu tertentu. Karenanya peran yang seseorang jalankan sangat penting dalam membentuk dunia seperti sekarang ini, terlepas dari apakah warisan mereka dianggap heroik atau kontroversial secara moral. 

Opini umum ini secara 'serampangan' di Indonesia, gelar pahlawan nasional diberikan secara resmi oleh pemerintah kepada tokoh-tokoh yang dianggap telah memenuhi syarat administratif perundangan-undangan belaka. Tanpa ada kajian akademik mendalam. Selain kajiannya bersifat administratif, diputuskan semata-mata keputusan politis.

Republik ini, sekarang diributkan dengan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Besar Soeharto. Kontan banyak penentang atas tindakan yang terkesan sembrono itu. 

Muncul pro kontra dalam bentuk perdebatan mengenai hal itu. Pada satu sisi berlangsung rekonstruksi cerita yang bersifat romantisasi dengan narasi baru yang mulai mengaburkan tindakan politik yang bersifat menafikan rasa keadilan dan kemanusiaan yang pernah terjadi di masa lalu. 

Sementara pada sisi yang lain masih berlangsung narasi pasca Orde Baru yang sudah mengakar di hati masyarakat Indonesia yang, sebagian besar benar adanya, cenderung melukiskan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto dalam proses pembangunannya berperilaku "semaunya sendiri" dan memaksakan dengan logikanya.

Tulisan ini bermaksud melihat, tidak spesifik merujuk pada pemain tunggal, tapi melihat lebih luas mengenai pendekatan dan praktek politik yang digunakan suatu rezim politik di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. 

Apabila dirumuskan setidaknya berlangsung tiga pendekatan bagaimana rezim politik Orde Baru  dibawah kepemimpinan yang bercorak militeristik itu dalam melaksanakan praktek politiknya. 

Pertama, pendekatan ideologisasi. Adapun praktek pendekatan ini yakni melakukan pemaksaan ideologi dan harus berangkat dari tafsir tunggal yang telah digariskan oleh mereka. Pada masa itu berlangsung indoktrinasi (penataran) Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). 

Pelaksanaannya dilakukan di setiap level masyarakat dan setiap mau masuk jenjang sekolah hingga masuk perguruan 

tinggi. Hal ini dilakukan untuk monoloyalitas tunggal kepada penyelenggara negara. Harapan dari pendekatan ideologisasi ini, adalah Orde Baru, membangun semacam kelas dominasi dengan menanamkan nilai dan norma yang menguntungkan mereka melalui institusi seperti sekolah, media, dan dakwah agama. 

Tidak ketinggalan pula media film juga dipakai dalam rangka membangun supremasi dan dominasinya, seperti film G30/PKI yang seluruh siswa diwajibkan nonton, film 6 jam di Yogya. Tujuannya kelas-kelas subordinat menerima ideologi kelas dominan tanpa mempertanyakannya. 

Ini menciptakan bentuk "persetujuan" yang tidak selalu disadari. Inilah yang disebut Antonio Gramsci dengan hegemoni. Nilai dan norma tersebut diterima sebagai "kebenaran" oleh sebagian besar masyarakat.

Kedua, pendekatan stigmatisasi. Praktek dari pendekatan adalah berupa melekatkannya label pejoratif (negatif) kepada individu atau kelompok tertentu yang kritis pada kebijakan negara Orde Baru. 

Tindakan pelabelan ini sering kali frasa yang digunakan mengarah pada sikap atau perlakuan merendahkan dan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat yang menentang program pembangunan yang pada dasarnya dirasa tidak adil.

Selama kepemimpinan Jenderal Soeharto bertaburan label anti pembangunan, anti Pancasila, menentang pemerintah, ekstrim kanan dan kiri, termasuk stigma sebagai anggota PKI atau berpaham komunis. Stigma ini menyebabkan 'kematian' perdata dari individu atau kelompok yang dilekatkan oleh label-label tersebut. 

Bahkan aspirasi kritis dari gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) pada Desember tahun 1993, salah satu dari banyak contoh kasus, tidak luput dari stigma cara-cara PKI. 

Ketidaksetujuan masyarakat Kedungombo yang kampung halamannya akan dijadikan waduk juga terpapar tuduhan anti pembangunan nasional. Masih banyak lagi kasus-kasus rakyat yang harus mati secara perdata karena stigma ini. 

Ketiga, pendekatan keamanan (scurity opproach). Pondasi dasar dari lahirnya Orde Baru penuh warna kekerasan politik dan politik kekerasan. Sehingga rezim politik Orde Baru, sejak awal berkuasa, sangat menekankan stabilitas dan kontrol politik dengan sangat ketat. 

Aparatus militer menjadi aktor utamanya. Tentu saja penekanannya pada masyarakat yang dianggap oposisi terhadap negara Orde Baru. Kebijakan utama dari penekanan stabilitas ini meliputi pengerahan kekuatan militer dalam rangka menumpas apa yang dianggap ancaman. 

Tidak ketinggalan penggunaan intelejen untuk pengawasan dan penegakan hukum. Masyarakat yang dicurigai akan bersikap kritis, disitulah "permainan" intelejen ditebar. Bahkan di masyarakat diciptakan hidup rasa saling curiga dan saling waspada satu sama lain. 

Tidak segan-segan, berdasar pendekatan ini dilahirkan kekuatan pemaksa yang sifatnya ekstra yudisial seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), dan lain-lain dalam rangka membangun rasa ketakutan masyarakat. 

Sementara di level daerah disiapkan badan koordinasi non-struktural, 

Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakortanasda) untuk membantu pemantapan stabilitas nasional. 

Tidak berhenti di situ, rezim politik orde baru tidak segan-segan memakai unsur kekerasan dalam arti fisik. Ada banyak kasus perlawanan rakyat yang harus dihentikan dengan kekerasan fisik. 

Mulai dari kasus-kasus penggusuran dan perampasan tanah rakyat (land grabbing) atas nama pembangunan, seperti proyek pembangunan bendungan, perpanjangan kontrak Hak Guna Usaha (HGU) untuk korporasi, penciptaan lapangan golf dan lain-lain.

Penekanan pada stabilitas politik pada pendekatan ini, meminjam teori Gramsci disebut cara kekuasaan koersif (coercive power). Satu kekerasan yang merujuk pada penggunaan kekuatan fisik atau paksaan langsung oleh negara khususnya melalui aparatus militer, untuk memaksakan kepatuhan terhadap kelas yang berkuasa, terutama ketika persetujuan masyarakat dinyatakan gagal.

Tentu saja pendekatan keamanan ini cenderung melanggar HAM. Dalam memperlakukan kekuatan Islam, khusus kalangan pesantren yang merupakan entitas sosial terbesar di Indonesia. Entitas sosial ini dianggap memiliki potensi oposisi terhadap rezim yang ingin membangun struktur politik negara dengan bercorak sentralistik-hierarkhis. 

Potensi masyarakat santri, sebagai kekuatan politik yang mengakar pada nilai-nilai tentu saja sangat susah digoyahkan. Pada pemilu 1971 suara partai dari kalangan pesantren mendapatkan 10 juta lebih suara pemilih, sungguhpun jauh di bawah partai besutan penguasa Orde Baru yaitu Golkar yang dengan rekayasa sedemikian rupa mendapat 34 juta lebih suara pemilih. 

Pada saat menjelang Pemilu 1971, banyak tokoh-tokoh politik NU dan kyai-kyai pesantren mengalami kekerasan. Banyak diantara mereka "dijemput" paksa dibawa ke markas-markas militer, untuk ditekan dengan maksud tidak terlibat dalam pemenangan pemilu Partai NU.

Berbeda dengan Partai NU, Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapat 3 juta lebih suara pemilih. Dimana pada akhir tahun 1960-an PNI mengalami suatu praktek kekerasan politik dan politik kekerasan yang dikenal dengan kristalisasi kaum nasionalis. Mereka tidak saja dipaksa untuk meninggalkan partainya, tapi juga berpisah dengan ajaran politik Bung Karno.

Sejak saat itu, dalam rangka memperlemah kekuatan politik santri, partai yang berafiliasi pada pesantren dipaksa untuk melaksanakan fusi dengan partai yang berhaluan Islam lainnya. Dan kepemimpinan partainya sudah ditentukan oleh penguasa, dan harus tidak ada kaitan langsung dengan pesantren. 

Tahun-tahun selanjutnya pesantren mengalami stigma yang mengarah pada pembatasan atas entitas sosial ini, baik itu secara politik, sosial hingga ekonomi. Pesantren mengalami perlakuan yang tidak adil dan bias. Diciptakan narasi pesantren nilai-nilai yang dianut pesantren sebagai nilai yang sudah tidak sesuai zaman. 

Perkembangan pesantren dihambat. Bahkan hingga pertengahan tahun 1990-an banyak pesantren, bahkan secara swadaya pun, mengalami kesulitan untuk melakukan pembangunan fisiknya termasuk ketidaktersediaan air bersih dan listrik, serta infrastruktur menuju pesantren juga berbeda dengan daerah lainnya, karena ketidakmerataan proses pembangunan.

Rezim politik di bawah Presiden Soeharto berusaha menundukkan entitas pesantren ini. Termasuk, seperti kekuatan politik lainnya pemimpinnya harus melalui restu kekuasaan. Hingga akhirnya manakala NU berusaha menentukan pemimpinnya sendiri (Muktamar NU tahun 1994) mendapat gangguan sedemikian rupa untuk tidak mendukung KH Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.

Ini merupakan representasi dari masyarakat atas situasi dan kondisi saat rezim politik di bawah kepemimpinan nasional Jenderal Soeharto.

***

*) Oleh : Dr. Tri Chandra Aprianto, Sejarawan Universitas Jember dan Sektetaris Lembaga Pengembangan Pertanian PBNU.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.