TIMES JEMBER, JEMBER – Sejak Reformasi 1998, jalanan Indonesia tak lagi sekadar jalur lalu lintas, tapi juga panggung demokrasi. Dari situlah lahir tradisi baru, rakyat turun ke jalan untuk menyampaikan suara, dari isu pendidikan, buruh, sampai penolakan undang-undang kontroversial. Demonstrasi menjadi simbol keberanian, sebuah “pesta demokrasi” yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Namun, lebih dari dua dekade berselang, panggung itu sering berubah wajah. Bukannya jadi ruang dialog, jalanan kini kerap dipenuhi adegan bentrok: kawat berduri melingkari gedung DPR, gas air mata memenuhi udara, aparat tampil garang, sementara para wakil rakyat bersembunyi di balik tembok tinggi. Apa yang seharusnya jadi ekspresi kebebasan kini tampak seperti konflik tanpa ujung.
Padahal, konstitusi kita jelas tak ambigu. Pasal 28E UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat. Bahkan UU No. 9 Tahun 1998 menegaskan bahwa unjuk rasa adalah instrumen sah dalam negara demokrasi. Singkatnya: demonstrasi bukan pelanggaran hukum, tapi bagian dari hak warga negara. Sayangnya, di lapangan, legalitas itu sering hanya berhenti di atas kertas.
Bagi aparat, demonstrasi kerap dipersepsikan sebagai gangguan ketertiban. Polisi seringkali menempatkan massa aksi bukan sebagai warga yang sedang menuntut hak, tapi sebagai ancaman.
Hasilnya bisa ditebak: Demokrasi Indah di Atas Kertas, Retak di Jalanan: pentungan, gas air mata, penangkapan tanpa prosedur jelas, bahkan jurnalis yang sekadar meliput ikut jadi korban. Negara seolah lupa bahwa yang turun ke jalan bukan musuh, melainkan rakyatnya sendiri.
Memang benar, tidak semua demonstrasi berjalan damai. Ada aksi yang berujung anarkis, menimbulkan kerugian materi, bahkan korban jiwa. Tetapi pertanyaan kuncinya: mengapa demo bisa sampai segelap itu?
Jawabannya sederhana: frustrasi. Ketika aspirasi tak pernah didengar, pintu dialog tertutup, dan kebijakan dibuat sepihak, jalanan jadi pilihan terakhir.
Dalam banyak kasus, anarkisme bukan niat awal, melainkan akumulasi kekecewaan mendalam terhadap negara yang tuli. Sejarah politik kita membuktikan, kerusuhan di jalanan sering menjadi alarm keras bahwa kanal demokrasi formal sedang buntu.
Sayangnya, dua aktor utama demokrasi kita justru sering gagal memainkan perannya. Polisi, yang lahir dari semangat reformasi dengan slogan “melidungi, mengayomi, dan melayani masyarakat”, belakangan justru identik dengan wajah represif.
Mereka tampak lebih sibuk menjaga pagar gedung DPR ketimbang menjaga hati rakyat. Citra yang mestinya profesional berubah jadi buruk setiap kali gas air mata ditembakkan.
Di sisi lain, DPR tidak kalah problematis. Alih-alih membuka ruang dialog, para wakil rakyat seolah nyaman bersembunyi di balik pagar kawat berduri. Gedung DPR yang dulu disebut rumah rakyat kini lebih mirip benteng kekuasaan.
Berbagai momentum, dari revisi UU KPK, pengesahan UU Cipta Kerja, hingga RKUHP menjadi saksi bagaimana suara rakyat dianggap angin lalu. Tak heran jika survei demi survei selalu menempatkan DPR di posisi buncit soal kepercayaan publik.
Masalah semakin runyam ketika komunikasi politik para elit justru menambah minyak ke api. Pernyataan anggota DPR yang menyebut demonstran “tolol sedunia” hanya mempertegas jarak antara wakil rakyat dan rakyatnya.
Atau pernyataan pejabat yang menyebut gaji guru dan dosen rendah sebagai “tantangan bagi keuangan negara” yang seolah mengalihkan tanggung jawab. Alih-alih meredam, pernyataan semacam ini justru memancing amarah publik.
Komunikasi politik seharusnya menjadi jembatan, tapi yang terjadi justru tembok. Diksi yang kasar, klarifikasi yang setengah hati, dan sikap arogan hanya memperlebar jurang. Dalam era digital, di mana setiap kata bisa menyebar secepat kilat, pilihan kalimat bukan lagi soal sepele. Sekali terlontar, kata-kata itu terekam, dibagikan, dan jadi bahan bakar kemarahan publik.
Bahaya terbesar dari kondisi ini bukan sekadar ricuh di jalan, melainkan runtuhnya kepercayaan. Demokrasi bisa mati pelan-pelan bukan karena kudeta, melainkan karena rakyat kehilangan keyakinan bahwa suara mereka berarti. Ketika rakyat apatis, tak percaya pada demonstrasi, tak percaya pada polisi, dan tak percaya pada DPR, maka demokrasi tinggal nama tanpa jiwa.
Apa solusinya? Menutup ruang demonstrasi jelas bukan jawabannya. Justru ruang itu harus dijaga agar rakyat bisa menyampaikan aspirasi tanpa harus meledak dalam bentuk kekerasan. Ada tiga hal sederhana yang bisa jadi kunci: Bagi rakyat: demonstrasi harus damai, terorganisir, dan fokus pada substansi isu.
Kekerasan hanya akan melemahkan pesan dan memberi alasan aparat untuk represif. Bagi polisi: kembali ke jati diri sebagai pelindung rakyat. Pendekatan humanis dan persuasif lebih efektif daripada gas air mata. Profesionalisme bukan pilihan, melainkan kewajiban.
Bagi DPR: buka telinga, buka pintu. Rakyat bukan pengganggu, melainkan pemilik kedaulatan. Belajar memilih kata yang membangun, bukan menghina. Indonesia kini berada di persimpangan jalan.
Kita bisa memilih untuk menjaga demokrasi tetap hidup lewat keterbukaan, dialog, dan penghormatan terhadap rakyat. Atau kita membiarkannya mati pelan-pelan karena aparat represif, DPR arogan, dan komunikasi politik yang buruk.
Sejarah sudah memberi pelajaran: rakyat tidak pernah kalah ketika bersatu. Demokrasi hanya akan bertahan jika negara mau rendah hati untuk mendengar. Jika tidak, maka yang kita sebut demokrasi hari ini hanyalah seremoni kosong yang indah di atas kertas, tapi hampa di mata rakyat.
***
*) Oleh : M.A. Ghofur, S.Pd., S.A.P., Praktisi Jaring Asesmen Indonesia & Rengganis Indonesia Fundation. Serta Pendidik di SMP Negeri 2 Balung, Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |