https://jember.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Paradoks Prabowo Anti Asing

Jumat, 18 Juli 2025 - 13:38
Paradoks Prabowo Anti Asing Sajad Khawarismi Maulana Musthofa, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

TIMES JEMBER, JEMBER – Indonesia dan Amerika Serikat resmi menandatangani perjanjian dagang pada 16 Juli 2025. Dengan itu, tarif impor AS untuk produk Indonesia diturunkan dari ancaman awal 32% menjadi 19%, sedangkan barang dan jasa Amerika bisa masuk ke pasar Indonesia tanpa tarif ataupun hambatan non‑tarif. 

Sebagai imbal balik, Indonesia berkomitmen membeli produk energi AS senilai US\$15 miliar, produk pertanian senilai US\$4,5 miliar, serta 50 unit pesawat Boeing seri 777. 

Di satu sisi, ini dipandang sebagai kemenangan diplomasi ekonomi. Di sisi lain, klausul‑klausul tertentu memberi AS akses leluasa ke sumber daya alam (SDA) strategis Indonesia sebuah ironi bagi sikap “anti asing” yang selalu dikedepankan Presiden Prabowo Subianto.

Peluang Ekspor dan Ketergantungan Infrastruktur

Secara ekonomi, pasar modal dalam negeri langsung merespons positif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak hampir 0,7 % sehari setelah pengumuman, dipimpin penguatan sektor energi dan agribisnis. Produsen kelapa sawit, karet, nikel, dan tekstil berharap volume ekspor mereka ke AS meningkat karena tarif impor yang lebih ramah. 

Bagi banyak pabrik, terutama di Jawa dan Sulawesi, ini berarti kapasitas produksi bisa menyentuh titik optimal, sekaligus membuka kesempatan menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal.

Namun, di balik sorak‑sorai itu, muncul pertanyaan penting: apakah manfaat itu akan bertahan? Industri padat karya seperti alas kaki dan garmen tetap menghadapi tarif 19 %. Ditambah lagi, importir energi dan pangan AS mulai dari minyak mentah, LPG, hingga jagung dan kedelai, bisa masuk tanpa hambatan non‑tarif. 

Jika impor bahan baku terus meningkat, neraca perdagangan non‑migas kita bisa kembali defisit, memicu tekanan pada nilai tukar rupiah dan inflasi harga pangan di pasar lokal.

Di level rumah tangga, penurunan tarif AS tak serta‑merta menurunkan harga barang ekspor, karena ada biaya logistik dan margin pengimpor. Sementara itu, pemerintah harus mengeluarkan anggaran ekstra untuk subsidi BBM dan LPG impor agar harga dalam negeri tak meroket. 

Apakah beban subsidi itu lebih ringan daripada manfaat ekspor? Atau justru jadi beban fiskal yang membebani APBN di tengah upaya menaikkan alokasi belanja sosial?

Yang tak kalah krusial, pelaksanaan perjanjian ini menuntut amandemen Undang‑Undang Pengadaan Barang dan Jasa serta pembaruan standar mutu dan prosedur sertifikasi. Jika birokrasi tak modern dan transparan, potensi kebocoran kebijakan bisa merugikan UMKM yang justru ingin dilindungi. Jadi, sambil merayakan potensi ekspor, publik perlu mengawal proses amandemen dan implementasi di lapangan.

Akses Bebas AS ke SDA dan Paradoks Anti Asing

Retorika “anti asing” sudah melekat kuat pada citra Presiden Prabowo Subianto sejak masa kampanye. Ia kerap menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh didikte perusahaan multinasional dan harus menjaga kedaulatan atas SDA mulai dari tambang nikel di Sulawesi hingga cadangan minyak di Natuna. Namun realitas perjanjian ini justru membuka akses besar‑besaran bagi perusahaan AS ke SDA kita, tanpa kenal tarif maupun kuota.

Menurut data Kementerian ESDM, komitmen pembelian energi senilai US\$15 miliar akan berupa impor LNG, batu bara berkualitas tinggi, dan bahan bakar jet. Aliran devisa ini secara langsung menguntungkan eksportir AS, sementara nilai tambah pengolahan di dalam negeri relatif minim. 

Indonesia tetap mengekspor mentah, sedangkan hilirisasi energi yang seharusnya memberi lapangan kerja dan pendapatan lebih besar terasa tereksploitasi.

Tidak berhenti di situ: komoditas pertanian seperti jagung dan kedelai impor dari AS senilai US\$4,5 miliar menambah pilihan pasokan, tapi bisa menekan harga jual petani lokal. Padahal biaya produksi petani tradisional kita kian tinggi karena kenaikan pupuk dan upah buruh tani. 

Tanpa program proteksi yang memadai, misalnya subsidi pupuk tepat sasaran atau pelatihan agribisnis berkelanjutan ketergantungan ini justru melemahkan basis pertanian nasional.

Dari sisi politik, Donald Trump memuji perjanjian ini sebagai keberhasilan mengurangi defisit dagang AS dengan Indonesia dan memperkuat posisi agribisnis serta industri energi Amerika. Ia menyebutnya “win‑win deal” untuk kedua negara. Namun siapa yang lebih diuntungkan? 

Jika majunya petani dan pabrik di AS berarti semakin melunturkan kemandirian kita atas SDA dan energi, maka retorika “anti asing” hanya jadi alat tawar, bukan prinsip.

Perjanjian dagang Prabowo dan Trump memang menawarkan jalan keluar pragmatis: buka ekspor, jaga pasokan energi, dan stabilkan harga pangan. Tetapi di balik angka-angka besar itu, terletak paradoks: retorika anti‑asing dipertahankan secara politis, sementara dalam praktik ekonomi, ketergantungan justru semakin kuat. 

Pertanyaannya kini bukan hanya “apa untungnya kita?” tetapi juga “sejauh mana kedaulatan dan kemandirian bisa dipertahankan?” dan “bagaimana memastikan transfer teknologi serta hilirisasi benar‑benar terlaksana?”. Tanpa jawabannya, janji kedaulatan bisa saja tinggal retorika.

***

*) Oleh : Sajad Khawarismi Maulana Musthofa, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jember just now

Welcome to TIMES Jember

TIMES Jember is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.